Akhir pekan lalu saat saya dan suami sedang ngopi di tempat favorit kami, saya nyeletuk kalo saya mau ada di kursi DPR. Itu tentu memang hanya celetukan semata, karena masih hawa-hawa PEMILU, jadi obrolan kami ya nggak jauh-jauh dari situ. Tak disangka, suami saya malah menimpali. Katanya saya bisa mulai dengan menekuni suatu hal, yang nantinya bisa saya jadikan program ketika maju jadi calon legislatif. Balik lagi ya, ini semua hanya obrolan ngalor ngidul semata. Haha.
“Apa yang mau diperjuangkan?” tanya dia.
Loh, berlanjut. Tapi seketika saya jadi ingat seminar yang saya datangi 2 minggu lalu. Seminar oleh International Labour Organization (ILO), organisasi di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang gaungnya mungkin tidak seluas organisasi PBB lain, namun ternyata memegang peran penting dalam kesejahteraan tenaga kerja. Catat: tenaga kerja, bukan hanya “buruh” yang di Indonesia sering dianggap pekerja kelas bawah.
Dengan semangat saya cerita, kalau dari seminar ILO tersebut, ternyata banyak hal-hal yang begitu dekat dengan kita yang perlu perhatian, salah satunya tentang pekerjaan perawatan. Mendengar kata perawatan dalam konteks pekerjaan, mungkin yang muncul di kepala adalah suster atau terbatas pada sektor tertentu di rumah sakit. Sedangkan kalau menurut ILO, pekerjaan perawatan itu dibagi menjadi dua jenis: berbayar (contoh: perawat, guru PAUD, pengasuh anak) dan tidak berbayar (contoh: ibu memberi makan anak dan nemenin anak ngobrol, istri menyiapkan pakaian suami tiap pagi).
“Menurut kamu, istri yang sehari-harinya ngurus rumah, ngurus anak, ngurus suami, itu pengabdian atau pekerjaan?” tanya saya balik.
Tanpa menunggu dia menjawab, saya udah ngoceh lebih lanjut.
Kita pasti familiar kan dengan ucapan, “Ah, gue mah di rumah aja kerjanya, cuma ibu rumah tangga.” Ibu rumah tangga seakan-akan hal sepele yang tidak sebanding dengan pekerjaan kantoran. Padahal kalo dipikir-pikir, kita membayar pembantu rumah tangga kan untuk pekerjaan yang serupa. Beberes rumah, masak, nyapu, ngepel, nyetrika, sampai menjaga anak. Kenapa kita rela membayar sejumlah uang untuk pembantu rumah tangga, yang artinya kita menganggap ini sebagai suatu pekerjaan layak upah, tapi ketika dilakukan seorang ibu rumah tangga, dianggap sudah “kewajiban”?
Sering melontarkan komen, “Ya itu kan tugas lo sebagai istri.” atau “Namanya juga ibu ya mesti begitu” ketika seseorang mengeluh capek akan urusan domestik? Jangan lagi. Karena nyatanya tidak sesepele itu. Kegiatan merawat tak berbayar juga pekerjaan. Yang membedakan hanya tidak digaji saja. Dedikasi, waktu, usaha, keterampilan, bahkan pengetahuan, malah mungkin lebih diberikan oleh seorang istri atau ibu, dibanding pembantu rumah tangga.
Sayangnya, kita suka melupakan itu. Kultur di Indonesia masih menganggap bahwa merawat keluarga adalah suatu pengabdian, sehingga sering kita tidak menganggap mereka yang bekerja di rumah.
Istri bilang capek, dibales suami, “Kamu kan di rumah aja.”
Ibu mau sedikit punya waktu untuk bersenang-senang sendiri, dibilang, “Kok bisa sih ninggalin anak buat liburan?”
Seorang istri merasa keberadaannya di rumah tidak dianggap produktif. Seorang ibu nggak enak kalo terlihat beristirahat. (Ngomong-ngomong, kalo saya banyak pakai contoh dari sisi perempuan, ini karena kegiatan merawat dominasinya memang dilakukan oleh perempuan lho ya.)
Oke lanjut. Jadi, salah satu misi ILO di Indonesia terkait kegiatan merawat, yaitu untuk menyampaikan ke masyarakat bahwa kegiatan merawat tidak berbayar juga kegiatan produktif. Pekerjaan yang juga memerlukan apresiasi tinggi, bukan dalam konteks uang, tapi cukup lewat 5R!
Recognize. Reduce. Redistribute. Reward. Representation.
Recognize. Mengakui bahwa kegiatan merawat adalah pekerjaan produktif yang perlu dihargai. Hanya karena dilakukan oleh seorang istri atau ibu, bukan berarti itu adalah kodrat mereka untuk mengabdi, sehingga mereka tidak boleh mengeluh dengan apa yang dilakukan.
Reduce. Mengurangi beban si pemberi perawatan. Seorang suami juga perlu terlibat secara setara dalam urusan domestik, jadi jangan menganggap bahwa kegiatan merawat itu kewajiban istri.
Redistribute. Beban perawatan sebaiknya tidak hanya dilimpahkan ke satu orang. Ketika istri memasak, lalu suami inisiatif mencuci piring, harusnya tidak masalah dong ya?
Reward. Pahami bahwa merawat bisa melelahkan. Sejenak memberi waktu untuk memijat istri, atau membelikan jajanan kesukaan istri, bisa membuatnya merasa dihargai.
Representation. Ketika seorang anak secara rutin melihat ayahnya banyak membantu ibu dan memberi perhatian terhadap apa yang ibu lakukan, maka si anak nantinya akan meniru hal serupa.
Kalau dari penjelasan 5R di atas, nampaknya nggak susah untuk menghargai seseorang yang mendedikasikan diri untuk merawat rumah tangga. Saya jadi pengen 5R dijadiin iklan layanan masyarakat deh. Jadi jangan cuma jargon suami SIAGA (siap antar jaga) yang terekam di benak warga Indonesia, karena dukungan seorang suami bukan hanya ketika istri hamil dan melahirkan. Setelahnya juga.
Iya sih, paham. Di Indonesia belum ada undang-undang yang memberikan suami jatah cuti panjang ketika punya bayi baru. Baru juga lahiran, eh dua hari kemudian suami harus balik kerja. Mudah-mudahan berita tentang DPR inisiasi cuti 40 hari bagi suami yang istrinya melahirkan, beneran bisa gol!
Nah, sampai di sini, gimana menurut kalian? Kegiatan merawat merupakan pengabdian, atau pekerjaan?
Oh iya, merujuk ke pertanyaan suami di awal tulisan ini, seminar ILO bikin saya tertantang untuk mengetahui isu-isu di sekitar lho. Isu-isu yang terlihat kecil namun punya dampak besar jika diperhatikan lebih lanjut. Kira-kira, saya perlu memperjuangkan apa ya? Ada ide? Boleh juga kasih info komunitas yang saya bisa bergabung di dalamnya.
Ssst… Sesaat setelah obrolan kami usai, suami ikutan pengen nyaleg. Haha.