Dan terjadi lagi…
Saya punya komitmen dalam menulis di blog. Tiap bulan, harus ada minimal satu tulisan. April 2021, untuk pertama kali dalam 11 tahun saya memiliki blog ini, saya lupa! Saya masih inget gimana perasaan saat itu. Merasa “kok bisa sih?” sampe rasanya pengen jedotin kepala sendiri. Si agak perfeksionis emang. Lalu, 1 tahun 5 bulan kemudian, saya kembali lupa! September 2022 kosong tak ada tulisan. Tapi, kali ini saya sadar betul kenapa sampe nggak inget. Bulan lalu, saya sangat terserap oleh kesibukan kirim-kirim proposal sponsor untuk terbang ke Qatar. Alhamdulillaah saya terpilih jadi 1 dari 5,000 relawan internasional yang akan kerja di turnamen sepakbola terbesar di dunia: Piala Dunia FIFA! Ini ceritanya nanti aja; terpisah, spesial, khusus.
Nah, untungnya juga, saya ngeh keteledoran saya saat sedang di Singapura, dalam rangka menghadiri konser Westlife dan Green Day di Formula 1. Jadi saat itu, meski kesal, saya nggak terlalu meratapi diri. Soalnya kan mau nonton 2 band yang mengisi masa-masa remaja saya! Ditambah lagi, itu menjadi perjalanan pertama saya ke Singapura sejak 2019. Setelah 3 tahun, saya bisa kembali bertemu dengan keluarga dan teman yang ada di sana. Jadi ya… bahagia!
Balik ke judul. Asli dah, walaupun udah lewat 2 minggu lebih, konser Westlife dan Green Day masih terekam jelas dalam ingatan meski saya nggak banyak mengambil foto dan video. Saya menikmati itu semua dengan mata kepala sendiri, bukan lensa kamera. Dan kalo saya menobatkan kedua penampilan tersebut sebagai konser terbaik dalam hidup, bahkan ngalahin konser Justin Bieber, tentu beralasan!
Bahas Westlife dulu deh. Bisa dibilang, saya itu telat nge-fans sama musisi dewasa. Sampe lulus SD saya masih dengerinnya lagu anak-anak yang banyak diputar di acara macam Kring Kring Olala atau Tralala Trilili. Jujur, sempet ngerasa aneh sendiri waktu SMP karena temen-temen saya udah pada tergila-gila sama Backstreet Boys, Hanson, Gil, The Moffats, sedangkan saya masih nge-fans sama Joshua Suherman dan Trio Kwek-Kwek. Bukan berarti saya nggak menikmati, lagu hits 90-an saya hafal banget, cuma untuk sampe di titik mengidolakan, belum weh.
Baru deh ketika ada Westlife, sisi pengidolaan saya mulai menggeliat. Saya mulai mengoleksi ini itu yang berhubungan sama mereka dan sampe halu semua personilnya jadi pacar saya. Ahaha. Pertama kali Westlife konser di Indonesia, saya cuma remaja SMA yang boro-boro sanggup beli tiket, buat beli majalah yang ada mereka dan kasetnya aja harus ngabisin uang jajan. Kalo minta orangtua, udah pasti diomelin pake kata-kata sakti, “Duit dari Hong Kong??!!” Heran, kenapa Hong Kong sih?
Singkat cerita, sampe bertahun-tahun kemudian, cuma Westlife boyband yang saya dengarkan secara taat. Hingga akhirnya Justin Bieber datang ke kehidupan saya dan saya berganti fandom menjadi Belieber. Udah dewasa, punya pekerjaan, punya uang, ketika Westlife akhirnya datang lagi ke Indonesia ke-sekian kalinya, saya sudah berpaling. Tapi tentu, lagu-lagu mereka masih saya inget banget, kecuali rilisan di 10 tahun terakhir karena saya dengerinnya Justin Bieber doang.
Barulah ketika Westlife mengumumkan akan kembali tur dunia dengan tajuk The Wild Dreams Tour All the Hits semua kenangan akan mereka langsung menyeruak. Konsernya bakal berisi lagu-lagu jaman saya SMP-SMA! Nggak pake mikir, ketika dikonfirmasi kalau mereka (dan Green Day) akan manggung di Formula 1 Singapura, saya langsung mantengin laptop di hari penjualan tiket. Selepas pandemi masuk Singapura juga sudah tidak perlu syarat kesehatan apa-apa lagi, jadi sungguh sebuah timing yang tepat.
Malam itu, untuk pertama kalinya saya melihat mereka di panggung, dengan sosok tiap personilnya yang udah bapak-bapak (nan ganteng), senyum saya merekah sumringah. Apalagi waktu saya berhasil bersentuhan jari dengan Shane dan Kian ketika mereka turun panggung, tolong mau pingsan di tempat. Foto-fotonya burem soalnya mereka lari cepet banget. Wk!
Malam itu juga, tiap lagu yang mereka bawakan mengingatkan banyak potongan cerita dari masa sekolah saya. Di tiap lagu saya ikut bernyanyi sepenuh hati dan nggak lupa air mata ikut-ikutan menetes. Betapa waktu lewat sekejap saja. Rasanya, masa SMP dan SMA baru kemarin, tapi ternyata sudah terlewat lebih dari 20 tahun lalu. Sekarang mereka bahkan udah punya anak yang umurnya seumuran saya dulu pas naksir mereka.
Trus, gimana dengan Green Day? Saya kenal mereka dari cuma ikut-ikutan aja. Cowok-cowok di SMA saya pada saat itu lagi suka tuker-tukeran kaset. Dan karena temen saya emang banyakan cowok, saya iseng ikutan minjem. Berhubung punk menjadi genre yang pada saat itu lagi hits di kalangan remaja Depok, kaset-kaset Green Day banyak berpindah dari satu tangan ke tangan lain.
Dookie adalah album Green Day pertama yang saya dengarkan, yang ilustrasinya bom atom(?). Pulling Teeth, Basket Case, When I Come Around menjadi lagu-lagu yang bisa diterima telinga saya dengan baik. Menurut saya pribadi, emang nggak semua lagu punk itu nyaman didengerin sih. Nggak semua lagu Green Day juga saya suka. Selain 3 yang saya sebut tadi, paling cuma beberapa aja yang akhirnya melekat erat dari masa remaja saya. Good Riddance, Minority, American Idiot, Boulevard of Broken Dreams, St. Jimmy, Wake Me Up When September Ends… tapi satu hal, dan lagi-lagi sama kayak Westlife, it’s all about the memories.
Hari-hari di mana saya dan teman-teman saling bertukar kaset, saling bahas mana yang di suka, nyatetin lirik secara manual pake pulpen di buku khusus lirik, sampe latihan ngucapin kata per kata meski kalo nyanyi nada selalu menyimpang (si nggak bisa nyanyi!), ajaibnya lengket banget di benak dan ingatan. And Billie Joe Armstrong, yes, that guy. The guy that made me wonder how it felt like to date a bad boy… Ke sininya, ketika saya dewasa, tiap denger ada lagu Green Day yang terputar entah dari radio, atau speaker toko di pasar, senyum itu selalu tersungging. Tiap ada murid yang cerita dia suka musik dan Green Day menjadi salah satu yang dia dengar, mata saya akan berbinar-binar.
Saya bertekad harus berdiri di barisan paling depan ketika Green Day manggung. Dari jam 6 sore, saya sudah bersiap di venue padahal Green Day baru main jam 10.20 malam. Singapura mendadak diguyur hujan. Alih-alih berteduh, saya membuka payung dan ngotot tetap di arena. Seorang petugas mendatangi saya dan bilang kalo payung dilarang dan saya harus minggir ke lokasi yang mana cuma bisa nonton dari layar raksasa. Dia juga bilang, ada jas hujan di toko merchandise, tapi dia nggak tau apakah jas hujannya gratis atau berbayar.
Dengan bergegas saya pergi ke tempat yang dimaksud, dan ternyata jas hujannya harus ditebus dengan uang 2 dolar. Saya nggak punya uang lagi. Uang saya udah habis untuk makan siang, dan karena besoknya pulang pagi dan kartu MRT saya aman terisi saldo, saya pikir saya nggak akan perlu uang jajan lagi. Pengen nangis. Saya cuma bisa berdiri di depan toko kayak orang bingung.
Seorang pria bule menghampiri dan bertanya, “You need one?” Saya mengangguk, “But I have no money, Sir.” Si bule itu masuk ke dalam lalu kembali lagi dengan membawa jas hujan. “Here, it’s for you.” Dari yang tadinya cuma pengen nangis, jadi nangis beneran. Setelah mengucapkan banyak-banyak terima kasih, saya buang payung yang saya punya, dan langsung balik ke venue setelah memakai jas hujan.
Saya udah nggak peduli dengan sepatu yang basah sampai ke dalam, terkena lumpur, atau badan yang sedikit menggigil karena baju saya sempat terkena hujan. Semua saya terjang demi mendapat tempat di depan. Nggak sia-sia, penantian sambil berdiri selama 5 jam terbalas oleh penampilan Green Day yang luar biasa. Baru liat nama Green Day di layar doang aja udah mau pecah ini dada.
I don’t think I’ve seen such energy in concerts I’ve been to. Billie Joe Armstrong is the definition of a real performer. God! Nggak paham lagi saya sama energi band punk satu ini. Ngeriii. Semua yang ada di sana, tersihir oleh penampilan Green Day yang memukau. Di setiap lagu, nggak cuma nyanyi bareng, kami juga nggak segan berdansa dengan segenap jiwa. It is a night to remember. Saya bahkan membatin, saya nggak peduli Justin Bieber batal konser. Green Day udah bikin saya kenyang sampe rasanya saya nggak perlu lagi dateng ke acara musik untuk waktu yang lama.
Akhir pekan di Singapura, 1-2 Oktober 2022, saya layaknya seorang wanita yang pergi berkencan dengan dua kekasih dari masa sekolah, setelah belasan tahun tidak berjumpa. Everyone is no longer in their golden youth era, but we all have all the memories well-kept in our treasure boxes.
One thought on “Best Concerts of My Life: Westlife and Greenday!”