Apa saja tempat bermain yang masih kamu ingat dari masa kecilmu?
Lapangan. Di tahun 1990-an bisa dibilang rata-rata anak di masa itu pasti banyak menghabiskan sore harinya di lapangan. Seusai tidur siang, atau sepulang sekolah. Saat matahari pelan-pelan turun dan sinarnya tak lagi terik. Saat angin menyiulkan semilirnya.
Lapangan di seberang sungai samping rumah Nenek menjadi saksi bagaimana saya yang masih kecil belajar bersepeda roda dua. Sepeda Teh Nana, tetangga saya. Juga menjadi saksi saat saya kalah lomba kelereng dan memasukkan benang ke jarum saat perayaan kemerdekaan.
Lain lagi dengan lapangan di depan rumah kontrakan orangtua saya dulu. Di sana saya main layangan, mengganggu induk ayam yang sedang meninabobokan anak-anaknya sampai-sampai si induk murka dan lari mengejar saya yang terbirit-birit.
Lalu ada lapangan di seberang rel kereta. Luas. Sangat luas. Di masa itu masih dikelilingi pepohonan bambu. Tanahnya berpasir, yang seringkali kami corat-coret membentuk gambar serta tulisan, atau sekedar dijadikan gundukan.
Kemana waktu terbang? Terbang bersama semakin tingginya tubuh saya, semakin bertambahnya usia saya. Lapangan-lapangan tadi, sudah penuh terisi bangunan tempat tinggal. Hanya satu yang tersisa, yang di samping rumah Nenek. Itu pun sudah tidak lagi jadi tempat bermain anak-anak. Hanya difungsikan kalau ada Panjat Pinang atau Pemilihan Umum.
Tatkala saya menatapnya, saya termenung. Lapangan itu dulu terasa lebar sekali. Ujung ke ujung terasa jauh. Kini saya dewasa, lapangan kenangan tersebut terlihat mungil, seperti saya 24 tahun yang lalu.
Dilema pembangunan ya Mbak..Semakin banyak jumlah penduduk menuntut semakin banyak tempat tinggal. Akhirnya tempat bermain kita pun beralih fungsi jadi tempat tinggal 🙂