Kamis, 9 April 2015
Memasuki gerbang P10 Kuala Lumpur International Airport 2 menciptakan kekikukan tersendiri untuk saya. Penuhnya ruang tunggu tersebut didominasi 95% pria (yang saya yakin adalah ekspat India dan Nepal) dan saya tampaknya satu-satunya wanita berhijab di sini.
Berbekal tiket kelas bisnis dari AirAsia, saya dan suami diutamakan masuk duluan ke dalam pesawat. Kami cuma bisa cengar-cengir, saling melirik satu sama lain dan tersenyum sumringah. Bagaimana nggak? Mendapat kemewahan flatbed –kursi sekaligus tempat tidur, dan segala macam jamuan serta selimut yang nyaman banget (rasanya nggak pengen dibalikin!) merupakan hal yang sama sekali nggak pernah kami bayangkan. Terharu. Jadi teringat keluarga di Indonesia, berharap mereka merasakan apa yang kami rasakan…
Ini semua berkah memenangkan lomba menulis yang diadakan AirAsia Indonesia bulan Agustus 2014 lalu. Dalam rangka ulang tahun yang ke-10, mereka mengadakan kompetisi berhadiah jalan-jalan. Cerita saya beruntung dipilih sebagai juara pertama. 😀
***
Tak terasa, 4 jam perjalanan telah kami tempuh dan dari atas pesawat, saya bisa melihat pegunungan, pepohonan, berpetak-petak rumah warna warni yang padat menghiasi kota Kathmandu; pemandangan yang tidak pernah saya lihat dari jalan-jalan sebelumnya.
Turun dari pesawat dan memasuki Tribhuvan International Airport, saya dan Yuswo harus mengisi formulir imigrasi terlebih dahulu. Ada mesin yang juga kami pakai untuk memasukkan data dan berfoto diri. Bandara ini sangat sederhana, tetapi pemerintah Nepal berusaha sebaik mungkin untuk menyediakan layanan tambahan seperti air minum gratis. Petugas imigrasi menebak saya sebagai orang Malaysia, yang dengan ramah saya koreksi dan dengan bangga saya menyebut nama Indonesia.
Berhubung uang jajan dari AirAsia cukup besar, saya menyewa jasa agen perjalanan untuk menemani kami berlibur. Disambut oleh perwakilan Mr. Santosh dari Holidays to Nepal, kami meluncur di atas jalan-jalan Kathmandu. Matahari bersinar terik pada jam 3 siang itu, tapi hawa dingin membungkus tubuh saya. Burung-burung dara berterbangan, wanita berkain sari menunggu bis di pinggir jalan, rumah-rumah bata boncel dimeriahkan oleh kegiatan mencukur rambut di trotoar, gunung-gunung terlihat sejauh mata memandang, membuat saya merasa benar-benar jauh dari rumah. Tidak seperti di Indonesia, Malaysia, Singapura atau Thailand. Ini Nepal.
Sejak tadi saya penasaran seperti apa hotel yang disiapkan AirAsia untuk kami, karena tidak sekalipun saya melihat bangunan yang bagus. Lalu, mobil kami berbelok ke gang kecil. Seperti sihir, mendadak di hadapan kami berdiri hotel bergaya Eropa dengan hamparan rumput dan bunga-bunga. Soaltee Crowne Plaza namanya.
Setelah check-in dan menyimpan koper di kamar, saya dan Yuswo langsung keluar hotel tanpa berpikir untuk sejenak istirahat. Matahari sudah hampir turun ke peraduan. Kami berjalan keluar gang tadi, melihat keramaian kota sore itu. Jalan raya tanpa lampu lalu lintas karena Nepal tidak memiliki sumber daya listrik yang banyak, anjing-anjing kampung berseliweran, warung-warung kecil layaknya di tahun 90-an… Saya menyukai kota semrawut ini!
Jumat, 10 April 2015
Jam 6 pagi. Pagi tersegar yang pernah saya dapatkan. Ya, Kathmandu memang berpolusi, tapi bukan disebabkan banyaknya kendaraan atau pabrik. Bis dan truk di sana masih menggunakan mesin lama, yang mengepulkan asap hitam. Tanahnya pun berdebu. Maka nggak heran setelah hari berganti, saat orang-orang belum memenuhi jalanan, Kathmandu tetap menyajikan kesegaran udaranya. Saya menghirup dalam-dalam. Rumput dan bunga basah berembun. Di langit sana bulan masih terlihat samar-samar.
***
Hari ini kami ke Pokhara, wilayah yang ditempuh selama 7 jam perjalanan dengan mobil pribadi. Upendra supir kami sangat lihai membawa tumpangannya, sedangkan saya dan Yuswo beberapa kali menahan napas ketika mobil kami menyalip truk-truk besar bernama sangar: Road King, Road Star, Big Boss, Speed Control, Speed Eagle, Road Bull dan Wanna Challenge adalah segelintir nama gahar yang dilukis di depan truk-truk tua nan kokoh tersebut.
Mata saya pun mengembara… Nepal ternyata harus dinikmati dari hati. Nepal hanya bisa dinikmati jika kita mau melihat lebih dekat. Di balik kesemrawutannya, di balik tumpukan sampah, dibalik rumah dengan pintu kayu khas tempo dulu, di tengah kekotoran dan debu bertebaran, ada gunung-gunung yang luar biasa, ada beragam bunga liar tumbuh di tebing-tebing yang dialiri mata air. Bunga liar putih dan ungu. Mungil. Sempat Yuswo kaget karena merasa melihat pohon Ganja, yang ternyata bukan tapi hanya mirip. Upendra bilang yang boleh menghisap Ganja hanya seorang Baba –orang tua yang dihormati.
***
Mobil kami mendadak berhenti. Upendra menunjuk ke seberang, di mana sungai besar dan lebar menganga. Sungai yang juga merupakan wisata rafting untuk turis. “Kalian lihat warna merah itu? Itu cable car, orang gunung naik itu untuk mencapai jalan raya. Ayo! Kita coba!” ajak Upendra.
Gila! Saya berteriak dalam hati. Sumpah itu ngeri banget. Gimana kalo talinya putus dan kami terjun ke sungai? Suami saya naik bersama Upendra. Saya menunggu dengan galau. Jiwa pemberani saya akhirnya menang. Ketika Yuswo kembali, giliran saya naik. Cable car harus ditarik secara manual. Saya pikir akan berat menarik badan saya sendiri, rupanya nggak. Cable car meluncur dengan mudah. Setelahnya, Upendra mengajak kami mampir ke jembatan yang menghubungkan perkampungan pinggir tebing dengan perkampungan di gunung.
***
Rasa lelah dari perjalanan hari ini terbayar setibanya kami di Pokhara. Danau Fewa yang terbentang di depan hotel kami, dengan bukitnya yang hijau, menghilangkan penat. Saya dan Yuswo langsung merebahkan diri di atas kasur. Mengistirahatkan pinggang yang pegal.
Sabtu, 11 April 2015
Langit masih gelap. Masih Subuh. Dingin menusuk tulang. Saya merasa bersemangat. Saya akan dibawa ke tempat yang jadi tujuan utama saya ke Nepal.
Naik, naik, naik… Semakin tinggi mobil kami naik, semakin cerah warna langit, semakin nyata semburat warna jingga.
“Beb!” Yuswo menepuk lengan saya. Menunjuk ke langit di sebelah kanan. Dan hati ini pun langsung bernyanyi: Do you wanna build a snowman~~~ Gunung salju! Nggak ada kata yang bisa mengungkapkan perasaan saya saat itu. Semuanya terlihat begitu mempesona. Lebih mempesona lagi ketika kami berdiri di atap rumah warga. Puncak gunung saljunya terlihat jelas. Kami beruntung cuaca bagus. Orang-orang di sekeliling kami ber-ooh dan ber-aah takjub. Saya tidak mempedulikan matahari yang sedang terbit, saya bisa lihat itu di Indonesia, tapi tidak dengan gunung salju.
***
Menjelang siang saya dan Yuswo diajak berkeliling Pokhara. Vindhyabasini merupakan salah satu tempat ibadah umat Hindu di sana. Nggak ada yang spesial di tempat ini, tapi kalau kita datang di hari Sabtu atau Senin, hari yang dianggap baik untuk sembahyang, kita akan melihat antrian panjang orang-orang yang mau berdoa dan memberi sesajen kepada patung dewa di dalam kubah. Kami tidak berlama-lama di sini, teriknya mentari bikin kami nggak sabar mampir ke White River!
Dengan Bahasa Inggrisnya yang terbatas, Upendra bercerita bahwa air di White River berasal dari pegunungan Himalaya. Sepanjang tahun tidak habis, dan warnanya selalu putih keabuan. Berdiri di pinggirnya saja sudah terasa hawa dingin menerpa kaki. Dan coba percikkan airnya ke muka, segar banget! White River membantu warga Pokhara untuk mendapatkan listrik karena alirannya mengarah ke pembangkit listrik kota.
***
Ada kisah yang membuat bulu kuduk berdiri ketika kami mampir ke Davis Fall. Alkisah ada satu air terjun tanpa nama. Di suatu tengah hari pada bulan Juli tahun 1961, suami istri Davis asal Swiss sedang asik mandi di air terjun ketika mendadak gulungan besar air menghempaskan tubuh Nyonya Davis sampai beberapa meter. Nyonya Davis tewas. Tubuhnya dievakuasi dengan susah payah dan sejak saat itu air terjun tersebut dinamakan Davis Fall… Di bulan April, Davis Fall tidak terlihat berbahaya. Tapi lihat nanti di musim hujan antara Juni sampai September, air deras akan mengisi celah-celahnya.
Iseng-iseng, Upendra menantang Yuswo untuk melempar koin ke dalam mangkok di dalam kolam yang ada di sekitar Davis Fall. Suami saya pun menerima tantangan dan… yes! Koinnya masuk dan konon keberuntungan akan menyertai kami.
Saya bilang pada Upendra kalau berat badan saya banyak berkurang di Pokhara gegara tempat yang kami datangi selalu melibatkan naik dan turun tangga. Mendengarnya, Upendra malah bersemangat mengajak ke Gupteshwor Mahadev Cave, gua yang ada jauh di bawah tanah.
Saya mau pingsan, setiap beberapa menit saya menenggak minum karena medan yang basah, licin dan terjal. Menurut cerita, ketika gua tersebut digali, ditemukan patung ular dan sapi yang usianya ratusan tahun. Semakin ke dalam, udara semakin dingin. Tapi badan saya penuh keringat. Sampai tibalah kami di ujung, di mana jurang dan dinding gua yang terbelah menghapus semua rasa lelah. Gelap memang, hanya sedikit cahaya dari luar dan lampu yang sengaja dipasang yang menerangi. Tapi mata ini ciptaan Tuhan dengan megapiksel terbaik. Mata ini sanggup menyaksikan keindahan di dalam kegelapan, mengalahkan kamera handphone mahal milik suami.
***
Mobil kami berhenti di pemukiman yang sepi, tepat di depan bangunan merah bertuliskan Tashiling Community Hall. Kami mengintip ke dalam rumah-rumah kecil berisi bahan dan alat memintal. Museum kecil yang ada di sana menjelaskan bahwa di akhir tahun 1940-an, rezim komunis Cina berniat menguasai Tibet. Kedamaian di sana dirusak. Dalai Lama ke-14 dan 80,000 masyarakat Tibet melarikan diri ke negara-negara tetangga seperti India, Nepal dan Bhutan. Mereka pergi dengan resiko kematian, melewati pegunungan Himalaya yang bersalju sepanjang tahun; kekurangan makan, cedera dan kedinginan menghantui pelarian. Sudah lebih dari 50 tahun mereka hidup di Pokhara, dengan harapan bisa kembali pulang ke negara asal mereka, Tibet.
Membaca itu semua, melihat foto-foto para pengungsi, hati saya tersentuh. Andaikan saya punya uang yang banyak, akan saya beli salah satu karpet buatan mereka yang dipajang di dalam museum. Karpet yang dipintal dengan harapan untuk masa depan lebih baik…
***
Menjelang senja, mengingat itu adalah malam terakhir kami di Pokhara, saya melangkahkan kaki ke Pasar Hallanchowk. Suami saya asik tidur di kamar, mungkin dia lelah. Jadilah saya sore itu berpetualang sendiri. Menyisiri toko-toko yang menjual beragam souvenir, mulai dari batu, pashmina bahkan kerajinan tangan dari serat ganja. Saya mampir ke toko buku, dan di situ saya mendapat tempelan kulkas, buku dari daun Lokta -daun yang dipakai untuk menulis kitab jaman dahulu, bumbu kari, kartu Kamasutra dan teh asli Nepal untuk oleh-oleh teman dan kerabat.
Yang lucu dari sore itu adalah, saya selalu dilirik penasaran oleh banyak masyarakat lokal. Beberapa kali saya disapa dengan assalamu’alaikum, entah karena mereka tahu saya Muslim, atau karena mereka sendiri Muslim. Bahkan di toko buku tadi, si pemilik toko sempat bertanya kenapa saya memakai hijab.
“Berapa banyak Muslim di Indonesia?” tanyanya juga. Saya pun menjelaskan bahwa di tanah air Islam adalah agama dengan pemeluk terbanyak. Dia manggut-manggut. Dia bilang Hindu agama nomer satu di Nepal, walaupun Buddha lahir di sana.
Minggu, 12 April 2015
Pernah membayangkan naik gondola dengan rute menanjak? Saya sih nggak. Selama ini gondola yang saya lihat di Ancol dan Taman Safari jalurnya lurus rata. Beda dengan gondola yang saya dan Yuswo naiki di daerah bernama Chitwan. Antriannya luar biasa panjang, tapi Upendra dengan sedikit menyogok berhasil membuat kami masuk duluan. Manakamana gondola ini bukan sekedar untuk wisata, masyarakat di gunung juga memakainya untuk membawa barang-barang dan hewan-hewan dari kota. Tiga gunung tinggi kami lewati dengan jantung dag dig dug. Berada di ketinggian sedemikian rupa membuat kami menahan napas antara khawatir sekaligus takjub dengan pemandangan alam yang kami lihat. Semuanya begitu menawan. Perjalanan kembali ke Kathmandu dari Pokhara terasa lebih berkesan.
Senin, 13 April 2015
Saya menyadari, Nepal mungkin terlihat tidak modern dengan bangunannya yang jelek dan energi listrik yang terbatas, tapi masyarakat di sana toh tidak serta merta buta teknologi atau terbelakang. Di pemukiman warga di puncak gunung pun ada iklan handphone Samsung terbaru, dan warganya banyak yang menggenggam iPhone. Mereka juga punya tempat kursus bahasa-bahasa internasional. Bioskop mereka menyajikan film-film yang terbaru. Seragam sekolahnya berkelas seperti seragam sekolah di Jepang.
Ahhh… Perasaan saya sedih. Semakin mengenal Nepal, semakin saya jatuh cinta. Sayang nanti malam kami akan menuju Kuala Lumpur untuk kembali ke Jakarta. Rasanya belum puas saya berlama-lama di Nepal, tapi liburan sudah mau usai.
Setelah sarapan dan sedikit beres-beres, Upendra membawa kami ke Durbar Square. Tempat ini pasti bikin dahi mengernyit. Tempat apaan nih?? Kotor, sumpek! Begitu kira-kira pikiran awal saya. Tapi seperti yang saya bilang di awal, Nepal harus dilihat lebih dekat. Dan Durbar Square, nyatanya bukan hanya sekedar tempat yang kotor dan sumpek, ini adalah Kota Tua-nya Kathmandu. Kuil-kuil dari bata merah berdiri gagah, museum dan istana raja memberi banyak cerita tentang Nepal di masa lampau. Tribhuvan, Raja Nepal dari tahun 1911 sampai akhir hayatnya, sewaktu kecil adalah anak yang gemuk dan selalu cemberut kalau difoto. Ketika menjadi raja, istrinya ada dua, dan dia hobi berburu badak serta macan. Gajah-gajah di masa Raja Tribhuvan berkuasa, besarnya masya Allah! Gadingnya aja setinggi orang dewasa. Bayangkan badannya. Dari foto-foto yang dijejer di sepanjang dinding, kita juga belajar tentang revolusi yang terjadi di negara di Asia Selatan ini.
***
Upendra bilang dia akan membawa saya berolahraga lagi, seperti di Pokhara dulu. Diajaknya saya dan Yuswo ke Monkey Temple, kuil yang ada di atas puncak bukit di Kathmandu. Cuaca agak mendung dengan sedikit gerimis. Asap-asap dupa mengisi udara. Di sini, giliran saya yang diminta melempar koin ke tengah mangkok di kolam. Untuk keberuntungan, katanya lagi. Dan tembakan saya kena!
Nama Monkey Temple bukan tanpa alasan. Memang banyak monyet berkeliaran. Dari atas bukit, saya menikmati pemandangan kota Kathmandu, kembali mengucap syukur atas kesempatan bisa datang ke sini, melihat keindahan ciptaan-Nya.
Saya sampaikan khayalan saya ke Upendra, lain waktu saya dan Yuswo akan kembali lagi ke Nepal dengan anak-anak kami (aamiin!). Empat jam menjelang keberangkatan pesawat, kami menuju bandara setelah sebelumnya belanja di Thamel Market, pasar yang jadi pusat oleh-oleh di Kathmandu.
***
Saat itu jam 9 malam. Dari atas langit Kathmandu terlihat seperti tumpukan harta naga di film The Hobbit. Kemilau kuning dengan kelap-kelip merah, biru dan hijau. Malam itu juga merupakan malam tahun baru menurut kalender Nepal… Hati saya sendu. Sampai jumpa lagi negeri lukisan Tuhan… Negeri di dasar mangkok pegunungan.
Sabtu, 25 April 2015
“Mit, ada gempa besar di Nepal,” tulis Mrs. Hetty lewat pesan di Facebook, disambung beragam pesan di BBM, WhatsApp dan SMS dari teman-teman yang tau kalo saya baru balik dari Nepal. Hati saya mencemaskan keadaan Upendra.
Kamis, 14 Mei 2015
Mata saya menatap layar komputer berisi ratusan foto yang membuat ingatan saya melanglang jauh ke Asia Selatan sana. Tidak ada satu pun dari foto tersebut yang benar-benar menggambarkan keindahan Nepal; hal yang saya sesali karena berbekal kamera seadanya. Tapi Nepal telah mengubah saya, bahwa perjalanan bukan sekedar mendokumentasi, tapi bagaimana kita menikmati dengan sistem indera ciptaan-Nya. Begitulah seharusnya keindahan dilihat. Bukan dari balik lensa…
Sabtu, 16 Mei 2015
“Nggak akan sama lagi setelah gempa, kamu beruntung bisa melihat Kathmandu sebelum semuanya luluh lantak.” –Jose Goncalves, seorang teman yang pernah menghabiskan waktu bertahun-tahun di Nepal.
Aaaakk, kapan aku bisa ke Nepaal, mupeng iihh
Aamiin… Aku doain Mbak Noe bisa ke sini juga. Kita ke Bangkok bareng dulu ya minggu depan. Hehehe…
Hehe siaaapp, abis itu kemana bareng lagi? 😀
Aku ke Serang aja nengok adik bayi.
Salam kenal mba teronggemuk 😉
Sebelumnya selamat yaa artikelnya terpilih dan bisa jalan2 ke Nepal, asiknyaa.. Beruntung banget bisa menikmati keindahan Nepal sebelum gempa, beberapa kali baca berita rasanya sedih lihat bangunan hancur begitu 😦
Suatu hari saya akan kesana jika kondisi sudah membaik. Oia, artikelnya bagus dan detail.. Lumayan bisa buat inspirasi itinerary saya, hehehe 😀
– Utie
Halo Mbak Utie salam kenal juga. Terima kasih udah mampir. Ayooo jangan tunda ke Nepalnya. Alam mereka tetap indah. Dan mereka bergantung banget dari wisata alamnya ini sejak beberapa tahun terakhir. Iyaa saya juga sedih liat beberapa lokasi yang saya kunjungi rusak. Semoga semuanya segera membaik.
Suami mu tambah gemuk ya bu
Iya nyaingin istrinya. Hahaha
Akhirnya gw baca juga ini jalan-jalannya… Seru banget yaaa… Apalagi bagian pasar itu gue demen dah 😀
Kita masih kudu ketemuan Ied! Tunggu gue ada waktu luang lagi ya. Ntar buluk itu Pashmina. Hahahaha…
Salam kenal Mbak, tulisan perjalanannya tentang Nepal sangat menarik, apalagi bagian toko baju/kain dari bahan organiknya.. kisah tentang para pengungsi dan gempanya juga membuat sedih.. Mbak, waktu itu Nepal menjadi tujuan yang sudah ditentukan oleh AA atau Mbak yang pilih sendiri ya? Penasaran kenapa Nepal yang dipilih dari sekian banyak destinasi AA lainnya.. Oiya.. Mampir2 ya Mbak ke empatkembara.com 🙂
Hai terima kasih udah mampir. AirAsia kasih tiket PP dan penginapan dan uang jajan. Selebihnya di sana terserah aku yang mau ke mana. Mungkin karena di Indonesia banyak pencinta gunung dan Nepal setauku jadi salah satu destinasi yang penyuka panjat gunung tuju.