Waktu makan malam tadi, ada yang beda di jemari Papa. Dari sekian banyak cincin batu yang suka gonta-ganti dipakainya, hari ini beliau memakai cincin bermata putih, nggak cantik seperti batu kebanyakan.

“Baru ya Pa?” tanya saya.

“Mana? Ini? Wah udah 44 tahun Papa punya,” jawabnya.

“Oh ya?? Batu apa?” Saya terkaget-kaget.

“Bukan batu. Ini gigi gajah.”

Saya pun tambah kaget.

“Dulu di hutan orang masih banyak berburu gajah. Ditembak. Gadingnya diambil, dijual. Papa kebagian giginya. Dibikin jadi mata cincin.”

Lalu dari sekedar obrolan tentang cincin, mengalirlah cerita lain dari pria kelahiran Medan keturunan Cina ini.

Singkil, Aceh. Puluhan tahun silam.

“Papa kerja di hutan sama Kungkung kamu. Jadi penebang. Di masa itu dagang kayu masih gelondongan. Dikirim ke Singapura lewat jalur air.”

“Pegawai di tempat kerja Papa ada beberapa orang Malaysia dan Singapura. Yang namanya diskriminasi udah lama ada. Mereka selalu dapat jatah makan duluan. Abis itu sisa lauk mereka disajikan ke pegawai Indonesia. Satu waktu Papa komplain ke koki. Papa bilang mending kami nggak usah dikasih sisa mereka, kasih aja kami makanan yang memang jatah kami. Mereka itu kan sama-sama pegawai, kenapa jadi kami kayak pembantu?”

“Si koki marah. Dilapornya Papa ke bos besar. Nggak lama Kungkung panggil Papa. Dia suruh Papa kemas-kemas. Katanya, Papa dipecat.”

“Ya udah Papa keluar. Tapi sebelumnya Papa sempet pukul si koki.” Papa terkekeh mengingat kejadian itu.

“Rupanya beberapa waktu kemudian si koki juga berhenti kerja. Nggak tahan dia. Ada sesuatu terjadi. Kamarnya dilempari kotoran manusia sama buruh kasar orang asli sana.”

Saya cuma bisa ber-oooh. Usai bercerita, Papa melanjutkan makan dengan santai. Seakan kisah masa mudanya nggak berarti apa-apa. Padahal anak perempuannya ini cukup dibuat terkesima.