Saya suka jembatan. Entah kenapa. Mungkin karena jembatan merupakan sesuatu yang cukup kental dengan masa kecil saya. Besar di Depok Lama, tahun 1990an dulu banyak sekali jembatan yang menghubungkan jalan raya dengan kampung-kampung. Apalagi daerah saya ada Sungai Ciliwung dan anak-anak sungainya. Jembatan dari jalinan bambu, jembatan kayu dengan besi-besi kuat, jembatan dari sekedar batang pohon tumbang…
Tahun lalu ketika saya ber-Lebaran di Balikpapan, saya melewati satu jembatan yang langsung menarik minat terlebih karena di bawahnya adalah sungai luas dengan banyak diisi perahu-perahu. Sayang saat itu saya dan keluarga suami hanya sekedar melintas, dan saya malu kalo harus minta stop cuma karena mau lihat-lihat jembatan.
Tahun ini, untungnya, saya berhasil merayu suami untuk mengantar ke Manggar Besar, nama jembatan tersebut. Kami mampir saat adzan Ashar berkumandang. Angin semilir menerpa wajah saya. Perahu-perahu beristirahat, hanya satu yang bekerja. Menjelang sore begini, apalagi masih suasana Idul Fitri, Manggar Besar sepi. Tapi kalo di hari biasa, banyak orang hilir mudik. Kegiatan perdagangan ramai, terutama karena ada pasar dan pelelangan ikan di sana. Juga banyak pedagang salome (semacam cilok) di trotoarnya.
Jembatan yang merupakan sarana penghubung menuju Teritip dan Lamaru ini memang tidak sebagus jembatan tetangganya, namun terlepas dari badannya yang penuh coretan dan permukaannya yang sudah agak geradakan, jembatan Manggar Besar lebih mempesona untuk menikmati senja. Dilihat dari beberapa muda-mudi yang asyik bersenda gurau di atas motor yang sengaja diparkir di pinggir jalan, nampaknya tak hanya perahu yang tertambat, hati beberapa pasangan pun saling tertambat di atasnya.
cakep kak itu panas ya kka waktu kesana?
Menjelang sore jadi agak sejuk karena ada angin. Tapi Balikpapan emang dari sononya udah panas. Haha…