Beberapa minggu yang lalu saya ikutan Jelajah Sejarah bareng Penerbit Mizan ke tempat-tempat yang berhubungan dengan Gestapu. Kalian ingat nggak Gestapu itu apa? Iyes! Gerakan September Tiga Puluh atau kita juga mengenalnya sebagai G30S, aksi kudeta atas pemerintahan yang sah saat itu dengan menangkap dan membunuh beberapa Jenderal pimpinan Angkatan Darat TNI. Jaman saya kecil dulu, anak-anak sekolah “diwajibkan” nonton film ini. Film yang katanya diangkat dari kejadian sebenarnya.
Ada enam tempat yang peserta Jelajah Sejarah kunjungi. Kesemuanya menarik, empat diantaranya membawa kita masuk ke masa 50 tahun lalu… Yuk kita kulik satu-satu! Oh iya, di perjalanan kali ini, saya ditemani oleh Piot, sahabat SMA saya.
TAMAN SUROPATI
Naik kereta dari Depok, turun di Cikini dan lanjut berkendara bajaj, saya dan Piot melangkah ke Taman Suropati. Di taman inilah kami bertemu dengan teman-teman baru, para peserta Jelajah Sejarah. Penerbit Mizan memberi kami tas berisi buku dan rute napak tilas hari itu. Nggak lupa juga label nama menempel manis di dada. Dulunya, Taman Suropati adalah taman kota untuk hunian para pegawai administrasi berkebangsaan Belanda lho. Pagi yang cerah dengan beragam kegiatan olahraga dan sarapan pagi, Taman Suropati masa kini dipenuhi warga negara Indonesia.
MUSEUM SASMITA LOKA JENDERAL A. YANI
Selamat datang di rumah kediaman almarhum Jenderal TNI Ahmad Yani, salah satu pahlawan revolusi. Di rumah ini, Jl. Lembang D 58 Jakarta Pusat, pada tanggal 1 Oktober 1965 jam 04.35 pagi, beliau mati tertembus 7 peluru yang ditembakkan Giadi, salah satu anggota Pasukan Tjakrabirawa, pasukan yang harusnya hanya menjemput Pak Jenderal ke istana, tapi malah terjadi aksi pembunuhan. Beberapa waktu sebelumnya, beliau berkata pada anak-anaknya, “Nanti tanggal 5 kita bikin pesta besar juga, tidak kalah dengan ulang tahun PKI.” PKI (Partai Komunis Indonesia) saat itu adalah partai yang besar, yang perayaan ulang tahunnya begitu meriah. Siapa sangka 5 Oktober 1965 memang terjadi iring-iringan besar, mengantar beliau yang telah menjadi jasad.
Semasa hidup, Jenderal Ahmad Yani hobi sekali membaca. Di ruang kerjanya, ada satu lemari penuh dengan buku-buku bacaan. Tapi yang paling menarik adalah kamar tidur beliau. Kita bisa melihat barang-barang peninggalan beliau berupa gaji terakhirnya yang senilai Rp. 123,000, foto keluarga, buku harian dan ternyata kamar ini pun menyimpan kisah tersendiri. Seminggu sebelum pengangkatan Ahmad Yani menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat, halilintar menyambar kamar tersebut di suatu malam bulan Juni 1962 saat sekeluarga sedang berlibur di Puncak. Dindingnya pun sampai retak.
MUSEUM JENDERAL BESAR DR. A.H. NASUTION
Tak jauh dari rumah kediaman almarhum Jenderal Ahmad Yani, berdiri bangunan tempat tinggal keluarga Jenderal Nasution. Dulu, bukan sekarang. Kalo sekarang sudah menjadi museum juga. Rumah ini dicicil selama 2 tahun ke pemerintah DKI. Ajudan beliau, Pierre Tendean, yang saat itu juga ditangkap Tjakrabirawa, tinggal di bangunan berbeda di samping rumah utama. Banyak cerita menyebutkan saat itu Pierre Tendean mengaku sebagai Jenderal Nasution, makanya ditangkap. Namun dari hasil ngobrol saya dengan cucu Jenderal Nasution, dikatakan Pierre Tendean tidak pernah berkata seperti itu.
Nah, ngobrolin Jenderal Nasution, maka nama Ade Irma Surjani akan terbawa juga. Ketika Jenderal yang hobi menulis dan membaca ini berusaha melarikan diri dari Pasukan Tjakrabirawa, Ade Irma terbangun, menangis memanggil kedua orangtuanya, membuka pintu kamar dan punggung mungilnya menjadi sasaran peluru tajam. Ade Irma Surjani hanya bertahan dari sakitnya tembakan selama 5 hari. Gugur sebagai perisai ayahandanya tanggal 6 Oktober 1965 jam 10 malam.
KANTOR BEKAS CENTRAL COMMITTEE PARTAI KOMUNIS INDONESIA
Inilah penampakan bekas gedung Central Committee Partai Komunis Indonesia. Arsiteknya, Ir. Sakirman, adalah kakak dari Jenderal S. Parman yang merupakan satu dari tujuh pahlawan revolusi yang jadi korban kekejaman PKI. Malam sebelum kejadian, mereka dikabarkan masih bermain catur bersama. Dahulu, ketika memasuki Central Committee PKI, kita akan disambut foto-foto besar Ki Hajar Dewantara, Soedirman, dan Ir. Anwari. Mereka bukan anggota PKI, tapi PKI menaruh hormat karena ketiganya dianggap memiliki semangat membara yang sama dengan PKI. Di masanya, PKI senang menyenangkan masyarakat, sampai mengajarkan baca tulis pada ibu-ibu rumah tangga… Ya tapi ada maunya. Seperti partai-partai kita sekarang ini lah.
Kondisi bekas gedung CC PKI yang masih kokoh walaupun pernah terbakar, kini hanya menjadi lokasi untuk uji nyali berburu hantu…
SOTO DAN SOP KAKI SAPI BU YANTI
Hehehe… Kedai ini nggak ada hubungannya dengan Gestapu, tapi setelah capek berkunjung ke museum-museum, dan kebetulan udah masuk makan siang, boleh dong kami sejenak duduk, minum es jeruk dan makan soto dan sop kaki terenak di Gondangdia? Ah seger banget!
MUSEUM LUBANG BUAYA
Lubang Buaya bukanlah lubang yang ditinggali buaya. Memang hanya sekedar nama. Nama desa di masa itu yang gosipnya jadi tempat pelatihan Partai Komunis Indonesia. Museum yang juga dikenal sebagai Museum Pancasila Sakti ini berada di area luas yang dulunya dipenuhi pepohonan. 1 Oktober 1965, sebelum ketujuh jasad Pahlawan Revolusi diceburkan ke dalam sumur mati Desa Lubang Buaya, mereka terlebih dahulu disiksa oleh PKI di serambi salah satu rumah yang ada di sana. Ya, mereka semua wafat. Tapi cita-cita perjuangan mereka untuk menegakkan Pancasila tidaklah patah hanya dengan mengubur mereka di sumur itu.
Kami juga menghabiskan waktu dengan berbincang-bincang bersama Pak Anhar Gonggong, seorang sejarahwan. Beberapa teori tentang Gestapu kami diskusikan di sini. Sungguh sejarah kelam berbalut banyak versi, yang bahkan ada kaitannya dengan negara-negara lain…
***
Dalam perjalanan kembali ke rumah, saya termenung. Betapa perlu darah dan air mata untuk membuat negara kita bisa seperti sekarang. Betapa kita jangan sampai melupakan sejarah, melupakan jasa para pahlawan… Ah, saya pun kini jadi tahu, bahwa nama belakang saya “Sasmita” bukan hanya bermakna selalu tertawa. Sasmita juga berarti jejak langkah, kenangan dan sejarah. Terima kasih Penerbit Mizan untuk napak tilas mengenang 50 tahun Gestapu. Sudah lama hari Minggu saya tidak diisi kegiatan yang berguna. Sampai jumpa di Jelajah Sejarah berikutnya.
Sebelum mulai membaca artikel ini, saya scan dulu gambarnya dari atas sampai bawah, dan saya penasaran kenapa ada gambar warung soto segala. Saya pikir apa pasukan penculiknya sebelum tugas sempat pada mampir makan di situ ya? Hahahaha … Setelah baca utuh, baru deh ketahuan kenapa ada gambar itu 😀
Btw, memang sejarah dan kisah tentang kejadian di seputaran G30S ini masih berbalut banyak misteri. Karena versinya yang banyak dan beberapa di antaranya saling bertolak belakang. Meskipun pada orde baru, pemerintah sempat mengeluarkan semacam buku putih (yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto – yang kemudian menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) pada akhirnya tetap banyak yang meragukan kesahihan buku tersebut. Karena memang diyakini isinya banyak disetir oleh pemerintah orde baru.
Bagaimanapun, sejarah tentang kejadian tersebut tidak boleh dilupakan. Malah harus terus diselidiki, hingga kebenarannya terungkap -kalau memungkinkan-.
Ah seneng banget deh ini jalan-jalannya, soalnya bisa berbincang-bincang langsung dengan Pak Anhar Gonggong juga. Boleh dong kalau ada lagi, jalan-jalan sejarah yang serupa, saya dicolek juga 🙂
Betul! Bahkan Pak Anhar Gonggong sendiri tidak mengklaim cerita mana yang paling benar, meski dia punya keyakinan personal akan apa yang terjadi. Siap Mas Bart nanti kalo ada Jelajah Sejarah lagi, saya undang yes.
Dan pada akhirnya kita juga begitu ya mbak, kita cari info sana sini dan mempercayai satu versi yang paling kita yakini. Berharap semoga itu yang paling mendekati.
Asiiik, makasih ya mbak 🙂