“Kamu besok sidang. Emang belum tau?”

Begitu isi pesan dari dosen pembimbing, yang serta merta bikin saya spontan mengeluarkan satu kata sumpah serapah dalam Bahasa Inggris. Langsung saya balas dengan kalimat:

“Hah? Belum Bu. Bu Ulfa bilang jadwal sidang saya belum keluar Bu. Hahaha… Bu, saya panik nih. Duh, pengen nangis.”

Dan nggak sampe 30 menit kemudian, saya nangis beneran karena setelah nelpon sana sini, kroscek sana sini, benar adanya hari Selasa, 5 September 2017 jam 15.00 saya harus mempresentasikan skripsi yang dua bulan terakhir ini saya bikin. Dan hari itu sudah hari Senin. Saya langsung panik karena merasa nggak mungkin bisa datang sidang. Satu, jadwal ngajar saya hari itu dan besok sudah ada murid-muridnya, bayangkan kalo EF harus membatalkan 10 kelas secara mendadak. Dua, saya belum fotokopi dan menjilid skripsi 3 rangkap. Tiga, saya belum beli setelan putih hitam yang menjadi dresscode wajib. Empat, saya belum bikin presentasi PowerPoint. Lima, saya belum mikirin pertanyaan apa yang akan ditanya dosen sidang.

Tuhan! Gimana ini?

Pagi itu kebetulan saya ada di Jakarta dari jam 10 pagi. Meeting bulanan EF Taman Anggrek dan Kuningan City. Jadi saya sama sekali nggak sempat ngomong ke bos untuk ngomongin kemungkinan izin 2 hari. Sepanjang meeting pikiran saya ke mana-mana. Antara pengen tetep mengambil tantangan sidang yang mendadak ini, tapi juga ada perasaan nggak akan mampu.

Singkat cerita (sengaja disingkat karena untuk bayanginnya lagi aja lelah haha!), EF ngasih izin saya nyiapin sidang. Langsung deh saya pesen Gojek ke kampus yang jaraknya kebetulan cuma setengah jam dari Kuningan City, ngambil skripsi di kantor admin, fotokopi dan jilid, balik lagi ke kampus untuk menyerahkan itu semua, dan meluncur ke Pejaten untuk beli baju. Ada toko di mall sana yang jual busana ukuran besar. Kemeja putih, rok panjang hitam dan blazer biru dongker pun masuk tas kertas. Badan udah lepek karena keringat, tapi saya masih harus pulang ke Depok.

Ketika akhirnya jam 16.30 saya tiba di rumah, rasanya capeeek banget. Ternyata ya, pikiran itu lebih menguras tenaga. Saya bersih-bersih, ganti baju, selonjoran sebentar di kamar, dan langsung buka laptop. 19 slides PowerPoint kelar dalam waktu 6 jam. Gilak mumet banget kepala. Ceritanya saya singkat lagi deh ya. Haha! Pokoknya saya langsung tidur, paginya bangun dan latihan ngomong, siap-siapin bahan sidang, nyetrika baju, dan cabut ke kampus.

Media sosial dan WhatsApp saya banyak terisi dukungan dari keluarga, teman, dan murid. Si Bebeb bahkan sampe rela berangkat kantor lebih pagi karena dia tau istrinya perlu waktu menyendiri kalo lagi fokus sama sesuatu.

Di kampus, dua orang murid saya khusus dateng memberi semangat. Yang namanya Nanda niat abis bawain sebuket bunga dan boneka beruang berseragam toga. Huhu… Terharu!

Nggak keliatan panik, padahal mah… Oiya, itu celana nanti berganti rok hitam panjang.

Beberapa teman udah ada yang selesai sidang. Jantung saya makin dag-dig-dug. Jam 15.30 saya masuk ruang sidang dan di depan 3 dosen saya menampilkan isi skripsi yang berjudul Characters, Racial Conflicts, and Moral Values in the Novel “To Kill A Mockingbird” by Harper Lee. Dikomen sana-sini, ditanya ini-itu… Lima puluh menit berlalu dan sidang pun kelar. Saya diminta keluar supaya dosen-dosen bisa berdiskusi berapa nilai yang pantas saya dapat.

Menit-menit berlalu amat lambat. Saya cemas. Karena sampe 15 menit saya belum dipanggil masuk lagi. ADA APA DENGAN CINTA INI?? Udah nggak ngerti lagi lah gimana resah, mules, dan penasaran yang saya rasakan saat itu.

Tapi akhirnyaaah… segala penantian itu pun terbayar.

“After we discussed, your score is 88. You deserve an A.” Dosen ketuk palu.

HORE!!

Lulus!

Cuanet sih. Unch!