Sejak bekerja di Jakarta, melihat senja adalah hal yang langka. Kebetulan jam kerja saya dimulai pukul 12 siang dan selesai jam 9 malam. Pulang-pulang langit sudah gelap gulita. Tapi pernah, satu waktu jam mengajar saya selesai pukul 17.30. Begitu sampai di luar kantor, saya terpana sejenak. Warna sore, dengan matahari yang mulai turun, menjadi pemandangan yang terasa begitu luar biasa. Sekian lama tidak melihat senja, senja jadi terasa begitu mempesona. Saya sampai duduk di kursi halte, menunggu senja hilang dan digantikan langit kelam.
Saya jadi teringat saat-saat bermotor dengan suami di sore hari, di Kota Minyak Balikpapan, yang menjadi kampung halamannya. Diajaknya saya ke pantai, menatap bebukitan, menghirup udara segar di antara pepohonan. Di sela hembusan angin, suami saya harus mengencangkan sedikit suara ketika bercerita tentang tempat-tempat yang kami lewati, atau berkisah tentang masa remajanya yang pernah dipakai untuk bolos ke hutan.

Pantai Banua Patra

Kalau air sedang surut-surutnya, kita bisa jalan kaki ke pulau kecil di depan sana.
Waktu terasa melambat saat langit dengan semburat jingga perlahan dimakan bayang kelam. Kalau dipikir-pikir, senja memang punya magisnya sendiri. Tak heran kalau waktu kecil, kita sudah diminta pulang saat senja mengucap selamat tinggal. Meski indah, ada aura seram. Seseram kisah seorang suster di Gunung Dubbs Balikpapan, konon bernama Maria van Veneen, yang mati karena dibunuh tentara Jepang di masa penjajahan.

Memasuki wilayah Gunung Dubbs.

Gunung Dubbs diisi rumah-rumah model klasik, yang menjadi tempat tinggal pegawai Pertamina.
Ketika menatap senja, ia seakan berkata, satu lagi hari hampir terlewati, tinggalkan yang di belakang, dan majulah bersama yang tersisa…

Sayang sekali saya di sini ketika belum terlalu sore, jadi nggak bisa menangkap momen senja berwarna jingga.

Pertama kali ke Balikpapan tahun 2007, dan sejak saat itu kota ini berkembang sungguh pesat, namun suasananya tetap terasa santai.

Api yang berkibar dari puncak pipa ini menunjukkan bahwa minyak mentah sedang diproses. Menyala terus selama 24 jam.
jadi penasaran ke ablikpapan nih
foto pipa apinya keren tuh, mbak. hehehe
Jd kangen Balikpapan :’), gunung dubs jalanan yang selalu dilalui hampir setiap hari pulang pergi bis sekolah dan biasanya setiap pagi tepat jam enam selalu ada bunyi sirene Pertamina, kalo saya bilang “bunyi suling”..heheh
Heheh iyaaa suamiku juga nyebutnya suling. Orang Balikpapan atau pernah tinggal di sana Mbak? Sekarang domisili di mana?
iya mba saya lahir, sekolah dan kerja disana,, tapi sekarang sudah merantau ikut suami tinggal di sidoarjo..tp orang tua,adik masih di Balikpapan, 🙂
Ooh mirip suamiku ya. Dari lahir sampai 2012 di Balikpapan, setelah itu dapat kerjaannya di Jakarta. Jadi tinggal di Depok sama aku.
waaahh ini tempat pernah aku datengin.
Jaman jaman gerhana matahari total tahun lalu.
Betewe, enaknya yang tinggal di perumahan pertamina ini, bisa mampir ke pantai yaaah. Deket tinggal ngesot dan puas menikmati senja.
Yess bener, tahun lalu Balikpapan jadi salah satu kota yang bisa menikmati gerhana.
Dan perumahan Pertamina ini juga masih banyak pohon jadi sejuk banget. Hehe…
aduuh jadi kangen Balikpapan,
paling top lihat pemandangan senja plus kilang minyak dari gunung Dubbs di jalan Saparua,
ada bukit yang paling tinggi di situ
Aduh jadi pengen ke balikpapan 😀 kapan ya kira-kira