Merhaba! Saya udah nggak bisa menunda lagi. Hari terakhir di 2022. Saya udah janji ke diri sendiri kalo tulisan penutup untuk pengalaman relawan Piala Dunia FIFA 2022 Qatar harus rilis setelatnya hari ini. Jujur, saya nggak yakin bisa melukiskan semua yang saya rasakan. Selama hampir dua minggu belakangan yang saya lakukan cuma memutar semua yang saya alami dalam ingatan. Foto-foto dan bahkan video yang ada hanya sekedar dokumentasi pemanis. Apa yang saya punya dalam ruang memori adalah sebenar-benarnya saksi.
Bersiaplah kawan, tulisan ini akan panjang, dan mungkin membosankan. Tapi kalo kalian udah membersamai saya sejak hari pertama di Qatar, lanjutlah membaca hingga tuntas, supaya sama-sama kita menutup perjalanan sebulan di negara kecil ini, di pagelaran olahraga terbesar sedunia, Piala Dunia FIFA.
Minggu, 18 Desember 2022. Sejak persiapan berangkat kerja, saya sudah dipenuhi kehampaan terlepas dari pertandingan terakhir di Stadion Lusail adalah final antara Argentina dan Prancis. Saya tidak bisa berbohong. Ya, saya bersemangat, namun mengetahui bahwa itu adalah terakhir kali saya bertugas, mengenakan seragam, berinteraksi dengan penonton dari berbagai negara, bekerja bareng dengan teman-teman yang sebulan terakhir mengisi kehidupan saya… saya merasa kosong. Kekosongan yang mengiringi langkah saya menuju halte bus sampai lanjut berkereta ke Stadion Lusail. Meski begitu, dengan segenap hati saya tetap siap menghadapi hari terakhir saya sebagai relawan sekaligus penentuan gelar pemenang Piala Dunia 2022.
Argentina berlaga melawan Prancis di jam 6 sore waktu setempat, namun saya dan teman-teman tim Ticketing sudah berkumpul dari jam 12 siang di Workforce Center. Saling berbagi cenderamata, saling meminta tanda tangan, saling mengucapkan selamat tinggal, saling berbagi tawa dan canda. Saya menatap mereka satu per satu, kali ini lebih lama dan dalam. Entah kapan kami akan bertemu lagi setelah ini semua usai.
Kami lalu bersiap di posisi masing-masing dari 4 jam sebelum pertandingan dimulai. Tidak ada yang berbeda dalam rutinitas kami. Menyambut penonton, membantu mereka dengan permasalahan tiket, sesekali ngobrol dengan teman satu kelompok dan beberapa petugas keamanan… Sampai kami dikejutkan oleh bunyi mendesing yang memekakkan telinga. Pesawat jet mengisi langit di atas Stadion Lusail, dengan jejak warna merah marun dan putih yang melambangkan bendera Qatar. Hari itu memang juga merupakan Hari Nasional Qatar. Saking cantiknya, semua yang melihat sampai terpukau.
Semakin sore, makin banyak penonton mendatangi stadion. Sampai ada satu momen di mana saya membatin. Ya Allah, saya pengen banget nonton di final. Allah tau betul saya udah melakukan pekerjaan saya sebaik-baiknya selama ini. Tolong mudahin saya untuk dapet tiket nonton… Saya pernah cerita kan kalo di Lusail tim Ticketing nggak dapet jatah kerja tepat di dalam stadion, dan selama ini kalo saya posting video di dalam stadion, itu karena curi-curi kesempatan ketika udah selesai shift, atau memang beruntung dapet jatah tiket nonton.
Nggak lama setelah doa, bukannya kemudahan, Allah malah mengirim saya kesulitan.
Sepasang suami istri asal Hong Kong berusia 83 tahun menghampiri. Keduanya jalan dengan tongkat. Tiket yang mereka punya adalah tiket hadiah, lokasi kursi di level 7. Blok mereka hanya ada akses tangga, yang tentu tidak mungkin bisa mereka naiki. Sekalipun ada lift, hanya sampai level 5. Saya melihat ke arah Ticket Resolution Point (TRP), konter di mana permasalahan tiket akan ditangani langsung; antrian panjang. Nggak akan tega saya minta mereka berdiri antri. Akhirnya, saya pun mengantar mereka duduk di salah satu kursi terdekat. Setelahnya, saya bergegas menghampiri pengawas dan meminta penggantian tiket yang ada akses lift. Jawaban dia mengecewakan. Pengawas saya bilang dia nggak mau kasih prioritas, kalo memang kedua kakek nenek itu mau mengganti tiket, mereka harus antri seperti yang lain. Nggak masuk akal. Tapi daripada ngabisin tenaga untuk debat, saya mencari peruntungan di TRP lain.
Menyadari bahwa permasalahan ini butuh waktu untuk diselesaikan, saya menyarankan kedua penonton tua tersebut untuk tetap duduk dan menunggu. Sedikit berlari saya pergi ke TRP selanjutnya, meminta hal serupa ke pengawas di sana. Namun sayang mereka sudah kehabisan tiket yang saya harapkan. Tidak menyerah, saya pergi ke TRP berikut, meminta hal sama, dan kali ini saya beruntung. Pengawas di TRP tersebut mempunyai beberapa tiket cadangan, tapi dia mau lihat dulu kondisi si kakek nenek. Mungkin dia nggak percaya kalo saya beneran meminta untuk orangtua. Jadi, saya pun mengajak dia untuk menemui mereka. Alhamdulillaah, hanya dengan sekali liat dia paham. Tergopoh-gopoh saya kembali ke TRP untuk menerima tiket dari pengawas, lalu kembali menemui si oma opa. Kali ini langkah saya lebih ringan, tiket sudah di tangan.
Eits! Masalah belum selesai. Kursi baru mereka rupanya ada di gerbang yang jauh dari gerbang mereka menunggu; berjalan dengan tongkat sudah pasti akan lama dan tentu melelahkan. Saya kembali meminta mereka menunggu karena saya harus mencari mobil wara-wiri dulu.
Ada satu yang terdekat, tapi tidak ada supirnya.
Setelah beberapa saat, muncul juga mobil wara-wiri kecil yang cuma cukup untuk 3 penumpang. Supaya nggak kebalap sama yang lain, saya langsung lompat ke mobil yang masih melaju dan langsung minta supir meluncur ke gerbang tempat oma opa menunggu. Singkat cerita, kami pun sampai di gerbang tujuan, saya sukses mengantar mereka melewati pemindai tiket, naik lift, sampai akhirnya duduk di kursi. Oma opa mengucapkan terima kasih berkali-kali dan saya juga merasakan kepuasan luar biasa karena berhasil menjalankan tugas dengan baik.
Kembali ke posisi saya bekerja, beberapa teman bertanya-tanya ke mana saya pergi. “I saw you on the buggy car, you looked like a boss,” kelakar Atta, salah satu relawan asal Pakistan. Saya cuma nyengir.
Tak terasa, pertandingan pun dimulai. Saya hanya bisa “menyaksikan” dari hingar bingar yang saya dengar. Mencoba menerka apakah gemuruh yang berasal dari dalam stadion merupakan tanda seseorang mencetak gol atau semata hanya kesempatan yang terlewat. Ketika berturut-turut saya tau Messi dan Di Maria mencetak gol, saya lelompatan dan makin-makin pengen nonton. Tapi gimana caranya? Saya nggak berani diam-diam masuk ke stadion.
Ketika shift saya akhirnya kelar, yaitu ketika babak pertama selesai, saya masuk ke konter tiket untuk mengambil tas yang saya titipkan. Saya mengucapkan terima kasih ke dua orang petugas di sana atas kerjasama mereka, lalu iseng-iseng, saya berkata, “Do you have a free ticket? Anywhere is fine.” Tidak disangka-sangka, salah satu dari mereka membuka lemari dan bersiap menyerahkan satu tiket ke arah saya.
Sialnya, pengawas kami tiba-tiba masuk!
“Shit!” Kami mengumpat kaget. Kalo ketauan memberi tiket kami berdua bakal langsung dipecat! Saya sudah pasrah tiket yang sudah di depan mata itu batal diberikan. Tapi ketika saya beranjak pergi, petugas konter tiket diam-diam menyisipkannya ke dalam tas saya. Meski berlagak santai, mata saya menatapnya untuk mengucapkan terima kasih.
Bak ketiban durian runtuh, saya girang bukan kepalang. Jantung berdebar kencang. Saya langsung membawa tiket tersebut ke dalam stadion, naik tangga sebanyak 6 level, mencari kursi yang sesuai tiket, dari bersiap menyaksikan babak kedua! Bendera Argentina saya sampirkan di pundak. Semacam ada semut di celana, saya nggak bisa diam. Saya? Nonton final Piala Dunia? Pas Argentina berlaga pula?? Mungkin ini hadiah dari Allah karena saya sudah membantu kakek nenek Hong Kong tadi!
Jika di babak pertama saya jumpalitan bahagia karena Argentina unggul 2-0, babak kedua beda cerita. Teriakan frustrasi banyak keluar dari mulut terutama ketike Mbappe menyamakan kedudukan menjadi 2-2 hanya dalam waktu dua menit! Gila! Gelar juara yang sudah di depan mata mendadak terasa jauh kembali.
Di babak pertambahan waktu, hati saya resah. Saya komat-kamit berdoa memohon supaya Argentina beneran jadi pemenang. Stadion pun pecah ketika Messi kembali mencetak gol untuk membuat La Albiceleste unggul 3-2. Tapi kembali, Mbappe merusak angan, bola yang dia lesakkan ke dalam gawang sepuluh menit kemudian membuat skor imbang 3-3 dan pertandingan lanjut ke babak adu penalti.
Udah nggak tau lagi perasaan saya saat itu. Ragu dan yakin berbaur menyatu. Saya bisa merasakan hawa-hawa ketegangan memenuhi udara.
Mbappe menjadi algojo Prancis pertama dan sesuai dugaan, berhasil. Saya terdiam menahan napas. Messi, pelan tapi pasti, masuk! Saya bersorak bersama puluhan ribu pendukung Argentina. Coman, sukses ditepis! Saya bersorak kembali. Dybala, masuk! Kembali bersorak. Tchouameni, melenceng! Mulai serak suara saya karena terus berteriak. Paredes, gol!! Kolo Muani, masuk! Pita suara saya mulai perih. Montiel, masuk! MENANDAKAN ARGENTINA JUARA DUNIA!!!
Detik itu juga seluruh Stadion Lusail gegap gempita!! Saya melompat-lompat! Kanan, kiri, dan belakang saya semua pendukung Argentina, kami saling melontarkan kata selamat. TUHAN! Jadi ini mungkin jawaban kenapa saya diterima jadi relawan lagi di Qatar setelah sebelumnya di Piala Dunia Rusia 2018, dan ditempatkan di Lusail! Allah pengen saya menyaksikan Argentina main di final dan mengangkat trofi Piala Dunia!! Saya menatap ke arah lapangan. Keriuhan di antara para pemain Argentina membuat senyum saya makin melebar. Bendera biru muda dan putih terlihat dikibar-kibarkan dari kursi-kursi penonton.
Mita Yulian Sasmita, 24 tahun lalu kamu berharap suatu saat kamu bisa nonton Argentina main di Piala Dunia. Dan ingatkah 8 tahun lalu, dini hari, kamu menangis sesenggrukan karena Argentina kalah di final melawan Jerman? Hari ini, semua penantian itu jadi nyata. Semua mimpimu, terlaksana. Tangis sedihmu, berganti tangis haru.
Air mata saya menggenang. Dan makin mengalir deras ketika satu per satu pemain Argentina naik ke podium untuk menerima medali dan akhirnya mengangkat trofi Piala Dunia dengan penuh rasa bangga!
Hati saya penuh.
Usai sudah keseruan saya jadi relawan Piala Dunia FIFA 2022 Qatar, untuk lengkapnya, boleh cek profil dan highlights Instagram Stories @PsychoFat!
Ikutan nangis bahagia ya Mbak Mita. Inspiratif banget ceritanya untuk terus merawat mimpi.