Juni 2016. Siang itu panas, namun saya yang berada di dalam mobil Avanza ber-AC tidak terpengaruh. Saya baru saja dari Madura, menyebrang Jembatan Suramadu demi menikmati nasi, bebek goreng dan sambal mangga. Masih ada sisa beberapa jam sebelum langit gelap. Kebetulan sudah memasuki waktu solat Ashar di Surabaya, supir saya pun memarkir mobil di dekat Tugu Pahlawan. Ada mushola kecil yang bisa saya gunakan untuk beribadah.
Usai menyegarkan jiwa lewat percikan air wudhu dan doa, saya sejenak menikmati suasana di Tugu Pahlawan. Berbentuk paku terbalik, monumen ini mengandung makna 10 November 1945, di mana pada tanggal itu pemuda-pemudi Surabaya banyak berguguran dalam upaya melawan sekutu dan Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali. Duduk di undakan tangga, mata saya menyapu lapangan hijau seluas lebih dari 1 hektar; bayangan dari tiang-tiang melatarbelakangi patung Soekarno-Hatta memberi sedikit keteduhan.
Surabaya memang dikenal sebagai Kota Pahlawan, dan membicarakan pahlawan, seketika saya terkenang akan cerita Mami tentang kakek saya yang juga seorang pejuang lokal di Depok, bernama Tole Iskandar.
Banyak cerita beliau yang Mami tuturkan saat saya masih kecil. Satu yang saya ingat, tentang bagaimana identitas beliau dirahasiakan, karena pada saat yang bersamaan keluarga kami bekerja untuk Belanda sebagai penjaga pintu air.
Tidak ada foto Tole Iskandar semasa hidup, karena pasti sudah dibakar; supaya Belanda tidak tahu kalo anak dari pegawainya bekerja sebagai pejuang.
Dan hari ini, tepat 10 November 2016. 71 tahun sejak pertempuran Surabaya terjadi. Saya pun tetiba terpikir. Sudahkah saya menjadi pahlawan, setidaknya untuk diri sendiri?
Masyarakat sekarang jarang yg ingat jaman perjuangan. Hidupnya cuma dipakai senang2 doang. Makanya bangsa ini nggak maju2.
Pingin banget main ke Surabaya, melipir ke daerah2 sekitarnya. Juga main ke museumnya, mencari jejak para pahlawan.