#CeritaJamKosong #4 Pengamen

Standard

Tadi siang di tengah angin dan rintik musim hujan, saya mendekati seorang laki-laki di halte Komdak Semanggi.

“Mas, maaf mau nanya. Tapi mohon jangan tersinggung ya,” kata saya memelas.

“Iya, ada apa?” Raut mukanya tegas, matanya juga.

“Mas ini pengamen atau kebetulan lagi bawa gitar aja?” Saya bertanya demikian karena gayanya nggak seperti pengamen kebanyakan. Rambutnya gondrong, tapi terawat dan potongannya rapi. Kaos hitam John Lennon dan jeans robek-robeknya bersih, tidak ada aroma keringat menyengat yang biasanya saya hirup dari pengamen jalanan.

“Saya ngamen, ada apa?”

Dan pertanyaan ada apa-nya pun saya jelaskan dengan agak gelagapan. Jujur saja, saya butuh merekam dia memainkan gitar sebagai bahan pendukung membuat video.

“Ada muatan politik nggak?” tanyanya lagi. “Ini Mbak sendirian atau ada tim?”

Damn, I knew he was not just a street musician.

“Nggak ada Mas, nggak ada politik-politikan, dan saya sendiri aja, ini untuk ikutan lomba tentang sepakbola.”

Kodok, nama yang dikenalkan ke saya, akhirnya mengangguk setuju. Kami berjalan pelan dalam diam menuju lokasi yang saya mau. Setelah sedikit bertukar pikiran tentang sudut pengambilan gambar, saya pun mulai merekam… Tidak lama, hanya sekitar lima menit. Saya bersalaman dengannya tatkala semua kelar. Rasa canggung yang muncul di awal, mencair. Kami mulai ngobrol panjang lebar.

Bang Kodok, saya panggil “Bang” karena dia bermarga Nasution, adalah lulusan S1 jurusan Hukum. Dari kelas 6 SD sudah hidup di jalanan sebagai pengamen.

“Siang ngamen, malam main di kafe,” ceritanya.

Bang Kodok tinggal bersama istri kedua (dia bercerai dengan istri pertama) beserta anak perempuan dan lelaki di Bekasi; punya band beraliran metal (saya spontan langsung mengenalkan Superego, band suami, kepadanya). Dari cara berbicara, Bang Kodok memang terpelajar. Sesekali bahasa Inggris tersisip dalam kalimat-kalimat yang dilontarkan namun tiada kesan pamer. Ketika tahu saya belum dikaruniai anak meski sudah 5 tahun menikah, dimintanya saya untuk nggak berhenti ikhtiar.

“Saya juga penuh perjuangan untuk mendapat anak lelaki, alhamdulillah sekarang udah dikasih.”

Obrolan terus berlanjut.

“Saya dulu lama jadi atheist, belajar filsafat, tapi sekarang Muslim kembali.”

“Menurut saya rezeki bukan hanya materi, mendapat teman baru juga rezeki. Berbagi rezeki juga nggak harus materi, punya ilmu lalu kita amalkan juga sama dengan berbagi rezeki.”

“Saya mau lanjut kuliah S2, supaya bisa jadi dosen, rasanya itu pekerjaan yang cocok supaya saya tetap bisa ngamen.”

Kami berpisah saat tiba kembali di halte, setelah sebelumnya saling mem-follow akun Instagram.

14 thoughts on “#CeritaJamKosong #4 Pengamen

  1. Wah, Mita keren juga lho, udah bak Wartawan nih, ato mungkin emang udah kaliber wartawan, berani tanpa sungkan ngedekitn seorang pengamen. Tapi mana donk fotto pengamennya, Mbak Mita, koq gak ditampilin, hehe…

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s