Dear Mama,
Ma, apa kabar? Mungkin terlihat aneh; bukankah menyapa seseorang yang sudah tiada merupakan sesuatu yang sia-sia? Tapi terkadang, kita butuh pelarian dari kenyataan. Dan menulis surat ini adalah cara Lian untuk sedikit melupakan fakta bahwa tepat setahun yang lalu, Mama meninggalkan kami semua. Mama mungkin tidak bisa membaca apa yang Lian tulis, namun sejenak Lian mau membayangkan, bahwa ketika Lian mengetik deretan kata-kata ini, Mama ada di samping Lian, atau mungkin entah bagaimana caranya surat ini bisa sampai ke tempat di mana Mama berada sekarang.
Ma, nggak terasa ya sudah 365 hari lamanya Lian hanya bisa memandang Mama lewat foto-foto yang ada, mengingat Mama lewat potongan kenangan yang tersimpan di alam pikiran… Lian, Budhy, dan Papa hampir tidak pernah membicarakan masa-masa ketika Mama masih ada. Bukan, bukan karena kami telah melupakan Mama. Hanya saja mendengar nama Mama disebut, dada ini terasa diremas kesedihan yang akan membuat air mata kami tergenang.
Kami memilih untuk mengenang Mama sendiri-sendiri…
Papa masih dan selalu menyimpan foto Mama di dompet, foto profil WhatsApp-nya juga belum berubah. Foto Papa bersama Mama dan Omar. Lian nggak tau gimana dengan Budhy, mungkin dia juga banyak mengalami malam-malam penuh tangis bersama Erni ketika kangen Mama, sama seperti yang Lian dan Yuswo alami. Sedangkan Omar… Ah, Mama pasti akan bahagia sekali melihat Omar sekarang sudah makin besar dan makin cerdas.
Beberapa waktu lalu Lian pernah bertanya ke Omar. “Omar, masih inget sama muka Popoh nggak?” Lalu dijawabnya, “Masih. Tapi sekarang Popoh udah nggak ada, udah meninggal.”
Lian cuma bisa mengusap kepalanya yang kini sudah ditumbuhi rambut, sambil berkata, “Anak pintar, jangan lupain Popoh ya, Nak.”
Ma, Mama inget nggak? Dulu Mama sering banget bilang ke orang-orang, “Si Lian mah bisa masak, cuma aja males karena selalu saya masakin.” Dan sejak Mama nggak ada, Lian hampir tiap hari masak, terutama untuk Papa. Si Yanti pembantu di rumah bilang, “Dari belakang kalo Lian lagi masak pake daster, saya suka kira itu ibu.” Lian juga jadi kayak Mama, seneng beli perkakas dan perintilan masak. Bahkan ketika Lian memasak dalam kondisi belum mandi, lalu berkeringat karena sibuk memasak, samar-samar Lian bisa mencium aroma tubuh Mama yang Lian hirup ketika masih kecil dan berada di dapur bersama Mama, bertanya apakah masakan sudah siap.
Oiya Ma, Lian terpilih lagi untuk jadi relawan FIFA. Lian akan bekerja selama sebulan di Piala Dunia 2018 Rusia. Sayangnya, sekarang ini Lian belum dapat sponsor untuk beli tiket pesawatnya yang jauh lebih mahal dari tahun lalu ketika Lian jadi relawan Piala Konfederasi 2017, tapi Lian yakin Lian akan kembali ke Negeri Beruang Merah. Lian akan ke Kremlin kembali, mendatangi petak-petak yang dipenuhi bunga Tulip, bunga yang ingin sekali Mama lihat langsung di Belanda. Lian belum ada rezeki ke Belanda, jadi untuk saat ini Lian cuma bisa bikin jadi nyata mimpi Mama di Rusia.
Ma, ada satu film yang dalam seminggu terakhir ini sudah Lian tonton dua kali. Judulnya Ready Player One. Karakter di film itu bilang kalau dia main video game karena merasa terasing di dunia nyata, tapi dia juga bilang bahwa pada akhirnya yang harus dinikmati adalah dunia yang sesungguhnya. Yah, anggap saja, menulis surat ini adalah cara Lian berkomunikasi dengan Mama di “dunia maya”, tapi tentu Lian nggak melupakan untuk belajar ikhlas bahwa di dunia nyata Mama udah nggak ada.
Lian sayang Mama.
Al Fatihah…