Semakin banyak hal yang kita raih, semakin tidak mudah kita dipuaskan…
Dalam hal membaca misalnya. Jaman saya masih jomblo, masih belum ada yang naksir, kemana-mana sendiri, maka membaca novel percintaan remaja terasa begitu menyenangkan. Mengkhayal punya pacar seperti tokoh di cerita menjadi pengisi relung hati yang kosong. #Asek
Lalu saya pun punya kekasih. Novel percintaan remaja berganti jadi novel roman, berharap kemesraan di buku karangan Sandra Brown terwujud di kehidupan saya dan si Bebeb. Dan kemudian… Kami pun menikah…
Dan…
Novel percintaan jenis apapun sudah tidak bisa membuat saya tertarik. Karena saya sudah punya kisah cinta saya sendiri. Sudah bukan masanya lagi khayal mengkhayal. Kisah cinta di novel, seketika terasa hambar. #Cieh
Lalu kemudian…
Sesuatu terjadi.
Kala itu saya dan suami lagi kencan di Gramedia, ketika mata saya tertumbuk pada buku berjudul “Dilan” karya Pidi Baiq. Sampulnya… Saya suka. Sederhana. Dan sebagai penyuka cerita masa muda orangtua, gambar sesosok anak lelaki di buku itu, yang sedang membelakangi motor kuno, seperti membawa saya ke jaman-jaman om tante dulu. It just has its magic.
Lalu tertulis… “Dia adalah Dilanku tahun 1990.” Saya kalo ada apa-apa berbau 1990an, langsung gimana gitu. Suka lebay. Itu juga satu hal yang menggelitik saya untuk beli buku ini.
“Milea, kamu cantik, tapi aku belum mencintaimu. Enggak tahu kalo sore. Tunggu aja.” (Dilan 1990)
“Pidi Baiq kalo nge-tweet suka lucu lucu ngaco,” kata suami. Rupanya dia sudah lama jadi pengikut Twitter si pengarang yang juga seorang musisi nan jago gambar.
Saya manggut-manggut.
Dan jadilah saya membaca lembar demi lembar kisah Dilan dan Milea, yang bukan melulu tentang cinta tapi juga persahabatan, keluarga dan hal-hal acak macam si bibi dan si nenek. Kisah yang terasa tidak mengada-ada, kisah yang katanya fiksi tapi terasa sangat mungkin terjadi dulu; dulu di jaman Pidi Baiq SMA (kalo sekarang kayaknya nggak ada lelaki keren model begini). Bukan nggak mungkin si Dilan ini adalah si Pidi Baiq. Dan si Milea ini si cinta terindahnya jaman seragam putih abu.
Milea: “Kamu pernah nangis?”
Dilan: “Waktu bayi, pengen minum.”
Milea: “Bukan, ih! Pas udah besar. Pernah nangis?”
Dilan: “Kamu tau caranya supaya aku nangis?”
Milea: “Gimana?”
Dilan: “Gampang. Menghilanglah kamu di bumi.”
#PENGSAN
Dilan: “Lia, kalau kamu merasa tidak kuperhatikan, maaf, aku sibuk memantau lingkunganmu, barangkali ada orang mengganggumu, kuhajar dia!”
Maka saya pun sedih saat mencapai halaman terakhir, tidak rela kalau jenakanya romantisnya Dilan dan manjanya Milea selesai di halaman 330.
…
……
………
Tuhan selalu bersama pencinta aksara…
Kemarin, buku dengan sampul warna coklat dihiasi seorang gadis berdiri manis telah ditebus dengan harga Rp. 69,000. Judulnya “Bagian Kedua Dilan” dengan embel-embel “Dia adalah Dilanku tahun 1991”.
Senyum saya terkembang di kasir.
Rasa rindu saya akan kedua sejoli ini akan segera terpuaskan.
“Senakal-nakalnya anak geng motor, Lia, mereka shalat pada waktu ujian praktek agama.” -Dilan
Tak perlu lah sinopsis di balik bukunya. Cukup satu kutipan kecil saja sudah menggambarkan kalo buku ini bukan buku cinta biasa. Ala chiclit-teenlit sih… Tapi bahkan bisa bikin wanita berumur hampir kepala 3 kayak saya ikutan gemes. Makin dibaca, terbukti kalau cinta datang ke wanita lewat telinga. Makin dibaca, hati-hati hai anak gadis. Kalau beneran cinta, jangan sembarangan ngancem minta putus. Nanti nyeselnya sampe tua.
Ayah Dilan: “Nanti, saya ajak ayahmu panco. Saya harus menang.”
Milea: “Kenapa?”
Ayah Dilan: “Biar anaknya boleh dinikahi anak saya.”
#GONJRENG
Ah… Jika buku pertama bikin saya banyak tertawa, maka buku kedua bikin saya banyak meneteskan air mata. Mulai dari halaman 261 saya sudah berkaca-kaca. Berlanjut ke halaman 309 dan sukseslah puasa saya kurang afdhol. Cuma berhasil nahan lapar dan haus, tapi gagal nahan emosi. Saya nangis-nangis sebelum bedug Maghrib berkumandang.
Update! [Review] Milea: Suara dari Dilan bisa dibaca di sini.
Ditunggu Suara Dilan, Nia dan Bunda.. jadi kaya Harry Poter banyak serinya..
Kalo penasaran sama sosok Piyan, klik aja 🙂
banyak pertanyaan “kenapa” ya di novel dilan yang kedua 😦
Dijawab di buku ketiga. Dari Dilan langsung.