Ada taman kanak-kanak di halaman rumah Mami. Namanya TK Darma Bakti. Berdiri sejak tahun 1970-an, Darma Bakti menjadi sekolah anak pertama di lingkungan kami. Dan seperti sekolah pada umumnya, TK milik keluarga Mami ini juga punya “kantin”. Kenapa kantinnya berkutip? Karena memang tidak ada bangunan khusus, pelataran rumah lah yang menjadi lapaknya. Satu syarat utama, makanan yang dijual harus mengenyangkan. Bukan jajanan yang isinya angin doang.
Sejak 5 tahun terakhir, Nenek Muhaya berdagang di TK kami. Jam 7 pagi beliau sudah tiba dengan keranjang berisi 20 bungkus nasi uduk, 20 lontong oncom, 20 potong bakwan, 20 tahu isi dan 30 risol. Tidak lupa sekendi sambal kacang pedas yang kental, dan kadang-kadang ada kue bolu pelangi juga. Nenek delapan cucu ini bangun dari jam 2 pagi untuk mengolah bahan baku menjadi sarapan ibu-ibu yang mengantar anaknya sekolah.
“Kalo bekal bocah mah udah disiapin dari rumah, tapi emaknya jadi nggak sempet nyarap, sibuk beberes dulu sebelum nganter,” celoteh seorang ibu.
Ya, pelanggan dagangan wanita berusia 56 tahun ini memang para orangtua murid. Guru-guru juga deh! Termasuk saya yang kebetulan menempati rumah Mami bersama suami. Perut keroncongan di pagi hari? Antiii.
Dari hasil obrolan kala beliau numpang mencuci piring, saya jadi tau kalo karir Nenek Muhaya selalu di seputaran dagang. Dulu beliau menjual sayur, cabai, bawang dan buah di Pasar Depok Lama. Lalu beralih membuka warung Tegal yang hanya bertahan 3 tahun. Sebelum akhirnya jualan di TK, Nenek Muhaya sempat menjajakan pakaian keliling dan membuka warung sembako.
“Kenapa gonta-ganti usaha terus, Nek? Kan enak kalo satu aja yang digedein,” tanya saya sambil mencocol sepotong bakwan ke mangkuk sambal kacang.
“Pengennya juga gitu, tapi nggak kuat modal. Nenek kan cuma pedagang kecil. Kalo harga dari pusat naek, mau gak mau dagangan juga ikut naek. Modalnya cuma bisa dibelanjain sedikit, pembeli juga kurang.”
Suara percikan air dan dentingan sendok beradu piring meningkahi percakapan kami. Saya manggut-manggut. Bener juga ya. Untuk meningkatkan usaha kadang perlu bantuan modal besar, yang bagi masyarakat pra-sejahtera seperti Nenek Muhaya seringkali tidak mudah didapat…
Saya jadi teringat saat mencari info program tabungan. Kebetulan saya memang berniat nabung yang dananya bukan sekedar mendem di rekening lalu termakan biaya admin. Salah satu yang menarik minat adalah Taseto Mapan dari Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) Sinaya.
Investasi yang ditawarkan memiliki metode sederhana; kita diwajibkan menabung mulai dari Rp. 500,000 secara rutin tiap bulan, sampai jangka waktu minimal 6 bulan. Nah, dana yang kita simpan ini bakal difungsikan untuk memberdaya para pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) melalui pinjaman berbunga kompetitif dan juga berbagai pelatihan untuk meningkatkan kapasitas mereka.
Saya sempat mencoba simulasi tabungan tersebut di www.menabunguntukmemberdayakan.com. Caranya mudah, dan kalian yang sedang mencari jenis tabungan investasi ringan mungkin bisa ikut hitung-hitungan juga.

Pertama, masuk ke www.menabunguntukmemberdayakan.com dan klik “Mulai Simulasi”.

Lalu, pilih menu untuk tersambung ke halaman simulasi. Saya memilih “Manual Simulasi”.

Isi data diri berupa nama, alamat email dan jenis usaha yang ingin kita berdayakan.

Kemudian, masukkan nominal Rupiah yang mau ditabung berserta jangka waktunya. Saya mencoba di angka Rp. 500,000 selama 5 tahun.

Nah, inilah hasil simulasi pertumbuhan dana saya.
Dana kita berkembang, sekaligus berperan mengubah hidup jutaan pelaku mass market seperti Nenek Muhaya di Indonesia. Masa depan ekonomi yang lebih baik pun bisa kita ciptakan untuk penjahit rumahan, katering kecil-kecilan, tukang sol sepatu, penjual martabak telor, bahkan para pensiunan yang mau membuka usaha di hari tua. Mereka pelaku mass market yang tanpa kita sadari udah banyak membantu di keseharian lho. Dan mendengar kisah Nenek Muhaya, saya jadi makin mantap menabung di Taseto Mapan. Pengen rasanya mengungkapkan apresiasi dan rasa terima kasih tidak hanya dengan membeli atau memakai jasa mereka, tapi juga dengan langkah nyata menabung untuk memberdayakan.
Ah, saya mau lihat keranjang dagang Nenek Muhaya berubah jadi kedai di terminal atau pasar! Memang sih resikonya TK kami bisa kehilangan penjual nasi uduk, lontong dan gorengan favorit ibu-ibu; tapi untuk hidup Nenek Muhaya yang lebih sejahtera, kenapa nggak?
One thought on “[Terima Kasih Mass Market] Keranjang Dagang Nenek Muhaya”