Universiade Village: Jadi Anak Kos di Eropa

Standard

Nggak inget kapan persisnya, mungkin kelas 4 atau 5 SD, saat itu saya keranjingan nonton serial FRIENDS di RCTI. Tahun 1990-an. Tiap sore pasti saya duduk manis di kamar tidur Nenek, ter-haha-hihi melihat persahabatan Ross, Joey, Chandler, Monica, Rachel dan Phoebe. Semacam sampe berangan-angan kalo besar nanti bakal tinggal di apartemen kayak gitu, punya teman sekamar dan tetangga yang selalu “I’ll Be There For You” seperti judul soundtrack-nya.

*kecil-kecil sudah halu*

Sekolah Menengah Pertama, halu makin menjadi. Saya menulis belasan buku yang berkisah tentang seorang anak bernama Mita (saya sendiri!) yang sekolah di Manchester, punya pacar pemain bola asal Inggris (Teddy Sheringham!) dan temen-temennya dari beragam negara. Ketaker ye masa remaja saya penuh khayalan. Etapi, saya beneran pengen banget itu jadi nyata lho. Maka pas kelas 3 SMA, saya kirim banyak sekali email ke beberapa universitas di Eropa, kali-kali mereka punya beasiswa penuh. Soalnya waktu bilang ke Mama kalo saya mau kuliah di luar negeri, Mama malah menghardik, “Duit dari mana? Bikin pusing aja.” Haha… Syedih. Memang mimpi yang teramat tidak masuk akal untuk ekonomi keluarga kami. Beli buku pelajaran aja nggak selalu sanggup, bela-belain fotokopi punya temen supaya jauh lebih murah, meski jadinya harus membawa beban lebih berat.

Email-email saya -senangnya- dibalas. Mereka sampai mengirimi buklet dengan kertas mengilap penuh warna yang berisi kegiatan belajar mengajar, serta segala informasi mengenai kota tempat universitas tersebut berada. Namun sayang, semua tidak menyediakan beasiswa penuh, terbaik yang saya dapatkan adalah beasiswa separuh di Norwegia. Tetap saja, sudah separuh pun angkanya masih sangat fantastis. Impian itu pun saya cukup simpan sebagai pengisi buku harian. Saya menjalani apa yang semesta sajikan, kuliah di Bina Sarana Informatika jurusan D3 Bahasa Inggris. Yang biayanya sesuai dengan kantong orangtua. Yang dekat rumah jadi irit ongkos karena bisa dianter naik motor sama Papa.

***

Ribuan hari terlewati. Siapa sangka kalau Tuhan menjawab doa yang pernah saya panjatkan belasan tahun lalu. Menjadi relawan di Piala Konfederasi FIFA 2017 di Rusia, saya diberi fasilitas tinggal di Universiade Village, semacam kompleks tempat tinggal para mahasiswa dan atlet di kota Kazan. Di benak saya, tempatnya mungkin semacam rumah besar dengan puluhan tempat tidur tingkat di satu ruangan, ala ala panti asuhan; karena bayangin dong ada seribuan relawan. Tapi rupanya, yang saya dapat jauh dari angan.

P_20170615_134701_vHDR_On-01

Universiade Village justru terlihat seperti kampus. Deretan gedung berdinding bata berjejer rapi dengan nomor-nomor di atasnya. Pepohonan hijau berdiri tegak teratur; taman, lapangan olahraga, trek lari, tiang-tiang permainan, kantor pos, jasa laundry dan kantin menghiasi area luar. Saya menempati gedung nomor 23, lantai 2, kamar 209. Kamarnya terdiri dari dapur, kamar mandi dan satu kamar tidur dengan 4 tempat tidur. Yang artinya saya mendapat 3 roommates alias teman sekamar!

P_20170617_071347_vHDR_Auto-01

P_20170612_165632_vHDR_On-01

P_20170612_165644_vHDR_On-01

P_20170612_165640_vHDR_On-01

Gedung nomor 23 memiliki 7 lantai. Dari lantai saya sendiri, ada tetangga-tetangga dari beragam negara: Serbia, Swiss, Bahrain, Uzbekistan, Nigeria, Liberia, Bangladesh, Bostwana, Malaysia, Italia, Chili, Kanada, Tunisia, Kolombia, bahkan Indonesia. Ditambah tetangga-tetangga beda lantai yang berasal dari Rusia, Inggris dan Amerika. Ini udah kayak semua mimpi yang saya sebut di atas jadi nyata dalam satu kesempatan. Saya merasa seperti anak kuliahan yang “sekolah” di Eropa, tinggal di asrama dengan teman-teman warga dunia (cerita tentang mereka akan saya tulis khusus nanti), dan asyiknya NGGAK ADA UJIAN! Cuma satu yang nggak terkabul, pacar orang Inggris. #eh

P_20170629_024517_vHDR_Auto-01

P_20170622_155554_BF-01

My roomies! Maryam from Dubai, Amra from Bosnia and Rihab from Algeria.

Processed with VSCO with  preset

Tetangga lantai 2.

Processed with VSCO with  preset

Tetangga lantai 7.

Anyway, tinggal di asrama bikin saya belajar banget tentang saling berbagi. Bagi tugas belanja, bagi-bagi deterjen dan bahan makanan, pinjem-pinjeman alat masak dan bahkan pinjem kamar untuk sekedar nongkrong berkeluh kesah, gosip, ketawa-ketiwi sampe main kartu. Kadang kami juga turun ke lantai dasar untuk main pingpong, nonton, atau sekedar berkeliling Universiade Village menghirup udara segar. Urusan beberes, cukup dimanja. Tiap hari ada ibu-ibu yang bersihin dapur dan kamar mandi, dan tiap minggu seprei dan selimut kamar juga diganti.

Ternyata… menyimpan mimpi nggak selalu menyakitkan. Semesta punya cara dan waktunya sendiri untuk memberi yang kita ingini.

Advertisement

11 thoughts on “Universiade Village: Jadi Anak Kos di Eropa

  1. Mimpi itu slalu bisa berubah jd nyata, itu aku percaya 🙂 . Beberapa mimpi yg aku punya dr kecil, sekolah di luar, bisa traveling jauh, keliling dunia, satu per satu akhirnya bisa diraih mba. Keliling dunia memang belum, tp aku bakal ttp usaha utk bisa wujudkan itu 🙂 . Dengan mimpi, kita jd punya target utk diraih, jd lbh semangat menjalani hari, krn ada sesuatu yg kita kejar. Coba kalo ga ada mimpi.. Hidup datar, ga ada yg bikin semangat 😀

    • Betul! Meski nggak semua mimpi bisa diraih, tapi dengan bermimpi kita jadi punya tujuan hidup juga ya kan. Sambil tetap jalanin yang di depan mata, pelan-pelan kita gapai juga itu mimpi. Aih sedap.

  2. keren mba, begitulah cara kerja Allah SWT dalam menjawab mimpi-mimpi kita ya selalu ada jalan bahkan dari yang kita nggak sangka-sangka.

    salam kenal mba, saya enny yang di grup KEB 🙂

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s