Kalian tipe pelancong seperti apa? Kalo saya termasuk tipe yang jor-joran di kunjungan perdana, dan santai di kunjungan berikutnya. Sebanyak mungkin tempat akan saya datangi jika itu pertama kali saya berlibur ke daerah tersebut. Selanjutnya jika ada kesempatan datang kembali, maka saya nggak banyak merencanakan mau ini mau itu.
Cucok lah ketika sohib saya Dini mau terbang ke Ubud Bali hanya karena alasan “Gue pengen rileks aja sih.” Iya, saya sendiri udah pernah ke Ubud, udah puas main di Hutan Monyet dan beberapa tempat wisata sekitar. Ajakan Dini untuk liburan kalem pun saya sambut baik.
Ubud, dikelilingi sawah dan ladang, banyak dianggap sebagai jantungnya kebudayaan Bali. Nama Ubud sendiri berasal dari kata Ubad (obat) lantaran dulu kota ini merupakan pusat tanaman obat-obatan. Kalo kamu pencinta alam, menyukai seni dan merindukan suasana adem ayem, tempat ini bisa jadi pilihan kamu untuk pelesir. Saya sendiri menikmati Ubud lewat beberapa hal berikut:
1. Jalan Kaki. Pastinya saya nggak cuma pengen mendekam di kamar villa yang saya sewa di The Moksha. Senyaman apapun penginapan saya itu, kaki ini harus melangkah. Pagi itu setelah sarapan, beralaskan sendal jepit saya menjelajah jalanan dan gang di Ubud. Melihat masyarakat lokal lebur dengan para turis, anak-anak sekolah asik bercanda di pinggir jalan, mengintip kantor Lurah atau sekedar berbelok ke lorong menuju perumahan warga.
2. Makan. Ya Tuhan! Lupain diet! Di Ubud banyak banget restoran dengan hidangan-hidangan tradisional serta mancanegara. Saya dan Dini setuju kalo merakus adalah agenda wajib kamu yang liburan di Ubud. Salah satu yang kami datangi bernama Three Monkeys. Terletak di Jalan Monkey Forest, rumah makan ini mungkin tidak terlihat menarik dari luar, tapi begitu masuk ke dalam kamu bakal terkesan dengan desain interiornya. Pesanan kami, Nasi Goreng Istemewa (tidak salah eja lho!) dan Bruschetta, porsinya besar dan memakai bahan-bahan segar. Makan sambil menatap sawah? Aaah…
Selain itu, kami juga sempat mengisi perut di Umah Pizza Jalan Bisma. Dan lagi, dari luar terlihat sederhana, tapi dalamnya menyenangkan mata. Pizza mereka dipanggang secara tradisional dan harganya tidak mahal. Seloyang besar Margherita cuma Rp. 30,000. Tipis, empuk dengan saus tomat yang tingkat keasamannya pas, Umah Pizza boleh banget nih dicoba penggemar roti bulat pipih asal Italia ini.
3. Belanja. Seperti tujuan wisata pada umumnya, Ubud juga dipenuhi toko-toko yang menjual cinderamata dan barang kerajinan. Dan meskipun beli oleh-oleh bukan agenda utama, melihat beragam barang yang ditampilkan di etalase bikin iman saya goyah juga.
Balitaza Green Shop jadi persinggahan pertama saya ketika belanja. Toko ini khusus menjual hal-hal berbau herbal seperti sabun, minyak aromaterapi, lulur, daun kering penurun berat badan, bahkan gula, kopi dan bubuk coklat. Harumnya toko ini bikin saya meminang tiga sabun mandi beraroma buah-buahan.
Tapi, gerai favorit saya jatuh pada Nani Shop Painting and Clothing. Pemiliknya, Bli Komang Wirawan, ramah banget melayani pembeli. Nggak seperti di beberapa toko yang lebih meladeni turis asing, di Nani Shop saya merasa diperhatikan sama baiknya. Ketika saya sibuk melihat-lihat, Bli Wirawan nyeletuk, “Mbak, jam tangan Swatch-nya bagus.” Ih, bikin saya tersipu. Hehe…
Nani Shop menjual beragam tas, pasmina, baju pantai, serta kerajinan dari sutera dan kain perca. Cocok untuk beli oleh-oleh kerabat dekat atau orang yang spesial. Harganya boleh ditawar juga, ibu-ibu!
4. Ngopi. Saya cerita dikit dulu. Saya bukan penikmat kopi, minum kopi cuma untuk mendukung kehidupan sosialita aja. #Sedap Jadi saya nggak bisa rekomendasi tempat ngopi mana yang enak di Ubud. Tapi dari hasil selayang pandang di sana, banyak kedai kopi yang kayaknya asoy untuk sekedar rehat. Saya mainstream. Pilihan saya jatuh pada… Starbucks! Cuma gegara pemandangan di sampingnya itu Pura megah dengan kolam penuh teratai. Pura-nya sendiri bisa kita lihat tanpa harus masuk Starbucks. Tapi kan saya gaya, saya mau duduk cantik sambil memandangi Pura tersebut. Sekalian beli tumbler untuk oleh-oleh si Bebeb di rumah.
Begitulah… Dua hari saya di Ubud kerjaannya cuma tidur, makan, jalan, ulangi! Pikiran terang dan ringan, hati pun terasa tenang. Ubud emang yahud jadi pelarian di saat kamu suntuk.
Cita2 bgt nih bs ke ubud sambil ikut writer festival